Kamis, 17 September 2015

Jl. Kompasiana RT. 03 / RW.05



Setelah hampir setengah tahun menjadi silent reader di Kompasiana, akhirnya saya ikut bergabung juga menjadi member disini. Ada sedikit ketakutan ketika saya menulis artikel pertama berupa puisi sederhana kemarin. Apakah puisi saya ini akan dibaca? Akankah puisi saya ini bakal HL? Ataukah server kompasiana akan error menerima artikel saya yang masih acakadut enggak keruan? I don’t know babar blas, dude!

Tapi yang jelas, ada semangat menggebu untuk ikut serta bergabung di dunia persilatan Kompasiana. Semangat yang berkobar – kobar didalam jiwa dan raga #lebay

Kenapa sih gabung ke Kompasiana?

Kata mamah saya, mencari teman itu haruslah berhati – hati. Jika ingin pintar, bergabunglah dengan orang – orang pintar, karena pengaruh lingkungan akan menentukan pribadi kita nantinya. Ini juga salah satu alasan saya bergabung di wadah komunitas Kompasiana. Menurut saya, kompasiana itu berisi orang – orang yang cerdas, kreatif, dan lugas dalam menanggapi suatu hal. Ini terlihat dari artikel berisi analisis dan pendapat yang tertuang dalam tiap artikel yang mereka buat. Kadang mereka juga mendukung dan menyanggah pendapat kompasioner lain, tapi tetap dengan cara yang santun dan elegan. Kondisi sportif inilah yang bikin saya betah untuk membaca artikel demi artikel di Kompasiana.

Senin, 07 September 2015

Rumahku, Istanaku


Rumah...

Ada sebagian orang yang berpendapat rumah adalah simbol prestise, yang hanya untuk ditinggali, dirawat, kemudian ditinggalkan hingga akhirnya dilupakan. Bagi mereka, rumah harus dibangun bertingkat-tingkat, dengan tembok tinggi disekelilingnya, plus satpam dan dua anjing galak yang menjaganya.

Tapi bagiku, rumah bukan hanya sekedar itu...

Rumahku, istanaku tidak hanya sekedar tumpukan bata dan segala perabotan mewah yang menghias didalamnya. Rumah, akan menjadi sebuah “istana” apabila diisi dengan satu hal penting, yaitu kehangatan keluarga. Tanpa satu syarat ini, rumah yang berdiri megah pun akan terasa seperti gubug reyot nan sepi jika tidak ada sentuhan hangat keluarga. Sebuah paradoks yang juga menjelaskan kepada kita bahwa betapa kebahagian itu tak bisa dibeli dengan uang satu karung sekalipun.

Sabtu, 05 September 2015

Mentari di Bumi Papua



Jika kita melihat sekelebatan berita dari media massa tentang Papua, biasanya berita itu berupa kekerasan, perang antarsuku, dan separatisme. Sangat jarang kita melihat adanya berita tentang keharmonisan antarsuku di Jayapura, Jalan yang rusak di Puncak Jaya, serta pembangunan infrastrukturnya.

Keadaan ini menciptakan stigma negatif yang melekat pada diri orang Papua. Orang Jawa (dan luar jawa) selalu menganggap orang Papua itu kasar, primitif, dan terbelakang.

Hal ini diperparah juga dengan sikap pemerintah yang terlalu memusatkan pembangunan di pulau Jawa sehingga tercipta ketidakmerataan pembangunan, khususnya di Indonesia timur. Sehingga bisa dipastikan, hampir separuh masyarakat Papua hidup dibawah garis kemiskinan.