Minggu, 21 Mei 2017

Cerita Kopi dan Koran Pagi


Pagi yang indah. Embun masih menetes di ujung dedaunan. Burung burung bercericit riang dibalik rimbunnya pepohonan. Sesekali mereka turun membawa ranting untuk dijadikan rumah. Awan berarak laksana kapas di langit biru. Huft… rutinitas seperti biasa di pekarangan rumah.

Aku punya cara tersendiri untuk bisa menikmati pagi. Cukup sederhana, sediakan saja koran tertibatan hari ini dan secangkir kopi hitam yang uapnya masih mengepul, maka bisa dipastikan pagi itu akan terasa lebih khidmat dan syahdu.

Entah sejak kapan ritual ini aku mulai, tapi yang jelas hampir setiap pagi aku lakukan. Kalo dipikir pikir aneh juga, bukan? Saya yang masih remaja unyu-unyu begini baca koran? Kayak orang tua saja… huehehehe
 
Perkenalan saya dengan koran terjadi belasan tahun lalu. Saya ingat, dulu ayah saban hari membawa koran lokal, Banjarmasin Post, sepulang dari kerja. Desain antarmukanya yang artistik dan klasik selalu membuat saya tertarik untuk membaca atau sekedar melihat lihat foto, infografis, dan karikaturnya. Hingga ibu saya yang terkenal pendiam tapi bawel nyeletuk, “Duh, Nak! Kecil kecil sudah bisa baca!” saking seringnya melihat saya “nonton” koran sambil tiduran. Dari situlah awal kecintaan saya dengan koran.



Beranjak dewasa, kisah cinta saya terputus begitu saya mengenal apa yang disebut sosial media. Segala spesies sosmed mulai dari Facebook, Twitter, Instagram, Path, Whatsapp berjejal di smartphone saya yang RAM-nya tidak seberapa itu. Hasilnya, koran pun terlupakan. Lalu lintas informasi menjadi lebih cepat lewat notif yang muncul di layar gawai. Koran hanya dianggap sebagai media konvensional (baca: kuno) untuk ukuran generasi muda seperti saya kala itu.

Namun, empat tahun bergelut di dunia per-sosmed-an membuat saya merasakan sesuatu yang hilang. Ada yang saya dapatkan di koran tapi tidak saya dapatkan di berita digital.

Kalian tahu sendiri, kan? Ulasan berita yang dikemas secara instan ala media daring membuat isi berita dikupas kurang mendalam. Belum lagi mewabahnya berita berita hoax, ujaran kebencian, hasutan, propaganda, provokasi memaksa saya menutup beberapa akun sosial media. Data dari kompas.com (26/12) menyebutkan, 43.000 media online yang teridentifikasi, hanya 234 diantaranya saja yang memenuhi syarat UU pers. Sisanya? Allah hu alam. Inilah yang akhirnya membuat saya kembali ke koran.

Memang selalu menarik untuk membaca media konvensional ini. Pertama kali memegangnya, hangatnya sehangat suam suam kuku, pertanda koran baru saja turun cetak pagi harinya. Ketika halaman pertama dibuka, tercium bau khas koran. Seakan memberi semangat untuk melahap artikel per artikel satu demi satu. Segala jenis berita dalam dan luar negeri dikupas secara detail dan mendalam, diselingi dengan infografis dan karikatur keren yang menarik dan informatif.

Lewat koran kita juga diajarkan bagaimana cara berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Proses pembuatan artikel dikoran melibatkan beberapa editor yang selalu mengecek kesesuaian kata berdasarkan EYD yang sedang berlaku. Sudah pasti tak ada lagi bahasa slang yang terselip di artikel koran yang sering kita temui di artikel portal berita daring.

Dari berbagai macam rubrik yang ada, tajuk rencana adalah rubrik yang yang saya tunggu tunggu untuk di baca. Tajuk rencana adalah kumpulan artikel berupa sudut pandang redaksi tentang kejadian yang sedang viral. Dari tajuk rencana kita bisa melihat pendapat yang logis, menarik, dan relevan dari suatu peristiwa. Bebas dari hate speech atau hoax tentu saja.


Yang kedua tentu saja adalah karikatur. Gambar kartun yang biasanya menyiratkan sindiran atau kritik ini justru malah bikin saya senyum senyum sendiri.

Selain dua rubrik tadi, masih banyak rubrik yang bisa dinikmati dari surat kabar. Bisa dibayangkan, kan? Hanya dengan beberapa ribu rupiah saja kita bisa menikati sajian berita yang mendalam yang jauh dari hoax ataupun hate speech. Memang sedikit agak mahal sih jika dibandingkan dengan membeli kuota internet untuk media daring, tapi dengan koran akan selalu terjamin keaslian berita yang disuguhkan.

Agak ngeri membaca banyak artikel yang membahas keterasingan surat kabar diantara maraknya berita daring. Apalagi ketika membaca artikel dari jurnalis senior harian Kompas Bre Redana berjudul “Inikah Senjakala Kami…” (12/15) yang bikin dahi ini mengernyit, bulu kuduk merinding, dan mata berkunang kunang.

Dalam tulisannya Bang Bre menggambarkan surat kabar, seperti halnya media cetak lain seperti majalah, tabloid, buku, berada di ambang kepunahan karena terus tergerus oleh eksistensi media daring. Opini Bang Bre beralasan melihat daya beli dan minat baca orang Indonesia yang rendah. . Jadi jangan heran jika 10 atau 20 tahun dari sekarang, kita harus melihat surat kebar berada di museum sebagai bukti sejarah peradaban bangsa ini.

Sebagai catatan, di Asia Tenggara, Indonesia jauh tertinggal karena termasuk tiga besar dari belakang setelah Laos dan Kamboja. Keterbacaan surat kabar di Indonesia adalah 1:45 atau satu koran dibaca 45 orang. Padahal di Filipina perbandingannya 1:30.

Saya dan beberapa juta penikmat surat kabar di luar sana mungkin adalah orang yang paling kehilangan jika surat kabar benar benar punah. Bisa dibayangkan, jika itu terjadi maka kami akan kembali ke ranah portal media daring yang isinya sebagian besar hanya “sampah” itu. Atau kembali ke media audio visual lain yang isinya yel yel partai politik tertentu. Kiamatlah sudah!

***
Esoknya adalah rutinitasku untuk membeli koran di dekat perempatan. Aku datang agak siang karena harus menjemput adik yang sedang ujian kenaikan kelas. “Mas, Kompas-nya satu”, ujarku sembari merogoh duit 5000an. “Maaf mas, Kompasnya habis”. Kaget juga mendengarnya, tidak menyangka koran akan habis secepat itu. Saya pun dihinggapi kabar baik dan kabar buruk. Kabar buruknya saya harus pulang dengan tangan hampa dan kabar baiknya adalah mendengar kenyataan bahwa penikmat koran masih tetap ada. Semoga ini menjadi pertanda koran akan bertahan 10 sampai 20 tahun lagi. Semoga…
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar