Pagi yang indah. Embun masih menetes di ujung dedaunan.
Burung burung bercericit riang dibalik rimbunnya pepohonan. Sesekali mereka
turun membawa ranting untuk dijadikan rumah. Awan berarak laksana kapas di
langit biru. Huft… rutinitas seperti biasa di pekarangan rumah.
Aku punya cara tersendiri untuk bisa menikmati pagi.
Cukup sederhana, sediakan saja koran tertibatan hari ini dan secangkir kopi
hitam yang uapnya masih mengepul, maka bisa dipastikan pagi itu akan terasa lebih
khidmat dan syahdu.
Entah sejak kapan ritual ini aku mulai, tapi yang
jelas hampir setiap pagi aku lakukan. Kalo dipikir pikir aneh juga, bukan? Saya
yang masih remaja unyu-unyu begini baca koran? Kayak orang tua saja… huehehehe
Perkenalan saya dengan koran terjadi belasan tahun lalu.
Saya ingat, dulu ayah saban hari membawa koran lokal, Banjarmasin Post,
sepulang dari kerja. Desain antarmukanya yang artistik dan klasik selalu
membuat saya tertarik untuk membaca atau sekedar melihat lihat foto,
infografis, dan karikaturnya. Hingga ibu saya yang terkenal pendiam tapi bawel
nyeletuk, “Duh, Nak! Kecil kecil sudah bisa baca!” saking seringnya melihat
saya “nonton” koran sambil tiduran. Dari situlah awal kecintaan saya dengan
koran.
Beranjak dewasa, kisah cinta saya terputus begitu saya
mengenal apa yang disebut sosial media. Segala spesies sosmed mulai dari
Facebook, Twitter, Instagram, Path, Whatsapp berjejal di smartphone saya yang
RAM-nya tidak seberapa itu. Hasilnya, koran pun terlupakan. Lalu lintas
informasi menjadi lebih cepat lewat notif yang muncul di layar gawai. Koran
hanya dianggap sebagai media konvensional (baca: kuno) untuk ukuran generasi
muda seperti saya kala itu.
Namun, empat tahun bergelut di dunia per-sosmed-an
membuat saya merasakan sesuatu yang hilang. Ada yang saya dapatkan di koran
tapi tidak saya dapatkan di berita digital.
Kalian tahu sendiri, kan? Ulasan berita yang dikemas
secara instan ala media daring membuat isi berita dikupas kurang mendalam.
Belum lagi mewabahnya berita berita hoax, ujaran kebencian, hasutan,
propaganda, provokasi memaksa saya menutup beberapa akun sosial media. Data
dari kompas.com (26/12) menyebutkan, 43.000 media online yang teridentifikasi,
hanya 234 diantaranya saja yang memenuhi syarat UU pers. Sisanya? Allah hu alam. Inilah yang akhirnya
membuat saya kembali ke koran.
Memang selalu menarik untuk membaca media konvensional
ini. Pertama kali memegangnya, hangatnya sehangat suam suam kuku, pertanda
koran baru saja turun cetak pagi harinya. Ketika halaman pertama dibuka, tercium
bau khas koran. Seakan memberi semangat untuk melahap artikel per artikel satu
demi satu. Segala jenis berita dalam dan luar negeri dikupas secara detail dan
mendalam, diselingi dengan infografis dan karikatur keren yang menarik dan
informatif.
Lewat koran kita juga diajarkan bagaimana cara berbahasa
Indonesia yang baik dan benar. Proses pembuatan artikel dikoran melibatkan
beberapa editor yang selalu mengecek kesesuaian kata berdasarkan EYD yang
sedang berlaku. Sudah pasti tak ada lagi bahasa slang yang terselip di artikel koran yang sering kita temui di
artikel portal berita daring.
Dari berbagai macam rubrik yang ada, tajuk rencana
adalah rubrik yang yang saya tunggu tunggu untuk di baca. Tajuk rencana adalah
kumpulan artikel berupa sudut pandang redaksi tentang kejadian yang sedang
viral. Dari tajuk rencana kita bisa melihat pendapat yang logis, menarik, dan
relevan dari suatu peristiwa. Bebas dari hate
speech atau hoax tentu saja.
Yang kedua tentu saja adalah karikatur. Gambar kartun
yang biasanya menyiratkan sindiran atau kritik ini justru malah bikin saya senyum
senyum sendiri.
Selain dua rubrik tadi, masih banyak rubrik yang bisa dinikmati
dari surat kabar. Bisa dibayangkan, kan? Hanya dengan beberapa ribu rupiah saja
kita bisa menikati sajian berita yang mendalam yang jauh dari hoax ataupun hate speech. Memang sedikit agak mahal sih jika dibandingkan dengan
membeli kuota internet untuk media daring, tapi dengan koran akan selalu
terjamin keaslian berita yang disuguhkan.
Agak ngeri membaca banyak artikel yang membahas
keterasingan surat kabar diantara maraknya berita daring. Apalagi ketika
membaca artikel dari jurnalis senior harian Kompas Bre Redana berjudul “Inikah Senjakala Kami…” (12/15) yang bikin dahi ini mengernyit, bulu kuduk merinding,
dan mata berkunang kunang.
Dalam tulisannya Bang Bre menggambarkan surat kabar,
seperti halnya media cetak lain seperti majalah, tabloid, buku, berada di
ambang kepunahan karena terus tergerus oleh eksistensi media daring. Opini Bang
Bre beralasan melihat daya beli dan minat baca orang Indonesia yang rendah. .
Jadi jangan heran jika 10 atau 20 tahun dari sekarang, kita harus melihat surat
kebar berada di museum sebagai bukti sejarah peradaban bangsa ini.
Sebagai catatan, di Asia Tenggara, Indonesia jauh
tertinggal karena termasuk tiga besar dari belakang setelah Laos dan Kamboja.
Keterbacaan surat kabar di Indonesia adalah 1:45 atau satu koran dibaca 45
orang. Padahal di Filipina perbandingannya 1:30.
Saya dan beberapa juta penikmat surat kabar di luar
sana mungkin adalah orang yang paling kehilangan jika surat kabar benar benar
punah. Bisa dibayangkan, jika itu terjadi maka kami akan kembali ke ranah
portal media daring yang isinya sebagian besar hanya “sampah” itu. Atau kembali
ke media audio visual lain yang isinya yel yel partai politik tertentu.
Kiamatlah sudah!
***
Esoknya adalah rutinitasku untuk membeli koran di
dekat perempatan. Aku datang agak siang karena harus menjemput adik yang sedang
ujian kenaikan kelas. “Mas, Kompas-nya
satu”, ujarku sembari merogoh duit 5000an. “Maaf mas, Kompasnya habis”. Kaget juga mendengarnya, tidak
menyangka koran akan habis secepat itu. Saya pun dihinggapi kabar baik dan
kabar buruk. Kabar buruknya saya harus pulang dengan tangan hampa dan kabar
baiknya adalah mendengar kenyataan bahwa penikmat koran masih tetap ada. Semoga
ini menjadi pertanda koran akan bertahan 10 sampai 20 tahun lagi. Semoga…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar