Senin, 16 Oktober 2017

Cerpen | Mushola Sudut Mati



Hari ke-17 di bulan Ramadhan, suasananya masih tetap sama. Gema takbir terdengar di seantero kota, nyala kembang api menghias langit bak kunang kunang, Tua, muda, besar, kecil berduyun duyun untuk menunaikan sholat tarawih di masjid terdekat.

Ada sebuah mushola tua di komplek perumahan tempat aku tinggal. Mushola Al-Aqsa namanya. Letak mushola itu benar benar disudut mati, yaitu persis berada di ujung jalan yang buntu. Sebuah posisi yang tak lazim bagi sebuah tempat ibadah. Mungkin karena letaknya itu pula, mushola ini selalu tampak sepi. Orang - orang kompleks sini lebih suka beribadah di masjid kompleks tetangga yang lebih besar dan mewah. Mewah karena masjid tetangga difasilitasi pendingin ruangan dan beberapa spot yang bagus untuk selfie.

Sebenarnya, tak ada yang salah tentang keberadaannya. Mushola Al-Aqsa dulunya ramai oleh jemaah yang beribadah. Letaknya juga strategis, berada di dua kompleks perumahan yang padat. Jalan di depannya adalah jalan penghubung yang ramai oleh lalu lalang kendaraan. Namun, karena terjadi sengketa antara pemilik real estate pemilik perumahan, jalan itu ditutup. Dibuatlah pagar tinggi tepat disebelah Mushola Al-Aqsa.

Melihat mushola yang sedemikian sepi, Pak RT tidak tinggal diam. Dibantu dengan iuran warga yang tidak seberapa, beliau membuat papan penunjuk arah mushola di mulut gang. Harapan agar ada orang luar yang singgah di mushola kecil itu. Namun sia sia. Papan mungil itu kalah “pamor” dengan papan papan reklame yang semrawut memenuhi gerbang mulut gang. Cara lain pun dilakukan dengan menggelar pengajian dan baca tulis Alquran untuk anak anak. Lagi lagi cara ini tidak berhasil dengan alasan kesibukan dari beberapa warga.

Mungkin jika ada satu orang yang sedih melihat sepinya mushola adalah Pak Ghafar. Seorang tua yang tinggal sendirian di mushola Al-Aqsa. Beliau bukan orang terpandang, namun sudah merawat mushola itu turun temurun sejak puluhan tahun lalu. Bliau juga selalu menjadi imam, muadzin, sekaligus penceramah saat sholat terawih.

“Kau tahu, Nak? Bukan sepinya mushola ini yang membuatku sedih”, ujar Pak Ghafar suatu hari, “Tapi sikap acuh warga sini yang membuat mushola ini mati perlahan”.

Hingga sekarang, aku merenungi benar kata-kata Pak Ghafar ini. benar apa yang beliau bilang. Warga sini lebih memilih beribadah di rumah daripada di mushola. Bahkan sekedar sholat lima waktu sekalipun. Keberadaan mushola ini terlihat semaikn dikucilkan dengan adanya pagar rumah yang tinggi dari rumah rumah warga. Seoalah menafikan kwbwradaan mushola ini. Diambah lagi terdengar selentingan kabar jika tanah tempat mushola ini berdiri ditawar oleh pengusaha asal ibukota dengan harga tinggi.

Mendengar banyaknya kabar kurang enak beredar, pak Ghafar hanya tersenyum mafhum. Sore itu, sambil membersihkan halaman, beliau bercengkerama dengan kami yang tengah istirahat bermain bola. ngobrol dengan Pak Ghafar selalu menyenangkan bagi kami. Beliau sering bercerita tentang masa kecilnya di kampung lengkap dengan lelucon super-lucu yang sukses membuat kami sakit perut karena tertawa. Mungkin baginya, hanya hanya keceriaan anak anak yang membunuh kesepian mushola ini.

Lebaran sudah usai, kami sekeluarga masih saja berada di luar kota. Ritual silahturami ini memang rutin diadakan oleh keluarga besar kami. Ditengah kehangatan berkumpul dengan keluarga itulah datang kabar mengejutkan dari tetangga sebelah rumah.

Mushola Al-Aqsa dirubuhkan!

Alat berat telah menghancurkan mushola kecil itu. Setiap batanya hancur berkeping keping. Pertemuan pengusaha dengan pemilik real estate itu menemui kata sepakat. Dibantu dengan warga, polisi pamong praja, dan juga kyai terkenal ikut menjalani proses pembongkaran mushola itu.

Bagaimana dengan Pak Ghafar? Pak Ghafar telah meninggal tepat dua hari setelah Idul Fitri akibat sakit jantung yang lama dideritanya, Berpulang membawa serta reruntuhan Mushola Al-Aqsa tepat ke pangkaunNya. Lihatlah, di penghujung usianya Pak Ghafar masih mengulum senyum. Begitu ujar warga yang turut memandikan jenazah Pak Ghafar sebelum ke peradunnya.

Langit masih terlihat mendung ketika kami sekeluarga tiba kembali di rumah. Hatiku ikut hancur demi melihat Mushola Al-Aqsa yang hancur. Ditemani rintik hujan yang mulai berjatuhan, aku berdiri mematung ditengah reruntuhannya. Tepat disini, pernah berdiri sebuah tua. Mushola tempatku dulu belajar ilmu agama dari Pak Ghafar. Begitu mudahnya orang orang itu menghancurkan dan mengacuhkannya. Tanpa pernah peduli hamcurnya mushola kami dan hati didalamnya.

Bahkan saat usiaku kini menginjak 30-an tahun masih terdengar sayup sayup merdu alunan Pak Ghafar mengaji. Masih terbayang ayunan lidi Pak Ghafar menyapu, sambil sesekali melempar senyum kepadaku. Kuceritakan kepada anakku bahwa disini, dibawah rumah megah berlantai dua, pernah ada mushola tua berdiri. Terkubur oleh rasa angkuh dan acuh manusia.

Catatan penulis;
Cerita ini didedikasikan untuk mushola mushola kecil yang sepi karena pembangunan masjid besar didekatnya. Seringkali manusia abai dengan pembangunan masjid tanpa mempedulika dampak social terhadap masjid/ushola lain di sekitarnya.

Sekian.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar