Hari ke-17 di bulan Ramadhan, suasananya masih tetap
sama. Gema takbir terdengar di seantero kota, nyala kembang api menghias langit
bak kunang kunang, Tua, muda, besar, kecil berduyun duyun untuk menunaikan
sholat tarawih di masjid terdekat.
Ada sebuah mushola tua di komplek perumahan tempat aku
tinggal. Mushola Al-Aqsa namanya. Letak mushola itu benar benar disudut mati,
yaitu persis berada di ujung jalan yang buntu. Sebuah posisi yang tak lazim
bagi sebuah tempat ibadah. Mungkin karena letaknya itu pula, mushola ini selalu
tampak sepi. Orang - orang kompleks sini lebih suka beribadah di masjid
kompleks tetangga yang lebih besar dan mewah. Mewah karena masjid tetangga
difasilitasi pendingin ruangan dan beberapa spot yang bagus untuk selfie.
Melihat mushola yang sedemikian sepi, Pak RT tidak
tinggal diam. Dibantu dengan iuran warga yang tidak seberapa, beliau membuat
papan penunjuk arah mushola di mulut gang. Harapan agar ada orang luar yang
singgah di mushola kecil itu. Namun sia sia. Papan mungil itu kalah “pamor”
dengan papan papan reklame yang semrawut memenuhi gerbang mulut gang. Cara lain
pun dilakukan dengan menggelar pengajian dan baca tulis Alquran untuk anak
anak. Lagi lagi cara ini tidak berhasil dengan alasan kesibukan dari beberapa
warga.
Mungkin jika ada satu orang yang sedih melihat sepinya
mushola adalah Pak Ghafar. Seorang tua yang tinggal sendirian di mushola
Al-Aqsa. Beliau bukan orang terpandang, namun sudah merawat mushola itu turun
temurun sejak puluhan tahun lalu. Bliau juga selalu menjadi imam, muadzin,
sekaligus penceramah saat sholat terawih.
“Kau tahu, Nak? Bukan sepinya mushola ini yang
membuatku sedih”, ujar Pak Ghafar suatu hari, “Tapi sikap acuh warga sini yang
membuat mushola ini mati perlahan”.
Hingga sekarang, aku merenungi benar kata-kata Pak
Ghafar ini. benar apa yang beliau bilang. Warga sini lebih memilih beribadah di
rumah daripada di mushola. Bahkan sekedar sholat lima waktu sekalipun.
Keberadaan mushola ini terlihat semaikn dikucilkan dengan adanya pagar rumah
yang tinggi dari rumah rumah warga. Seoalah menafikan kwbwradaan mushola ini.
Diambah lagi terdengar selentingan kabar jika tanah tempat mushola ini berdiri
ditawar oleh pengusaha asal ibukota dengan harga tinggi.
Mendengar banyaknya kabar kurang enak beredar, pak
Ghafar hanya tersenyum mafhum. Sore itu, sambil membersihkan halaman, beliau
bercengkerama dengan kami yang tengah istirahat bermain bola. ngobrol dengan
Pak Ghafar selalu menyenangkan bagi kami. Beliau sering bercerita tentang masa
kecilnya di kampung lengkap dengan lelucon super-lucu yang sukses membuat kami
sakit perut karena tertawa. Mungkin baginya, hanya hanya keceriaan anak anak
yang membunuh kesepian mushola ini.
Lebaran sudah usai, kami sekeluarga masih saja berada
di luar kota. Ritual silahturami ini memang rutin diadakan oleh keluarga besar
kami. Ditengah kehangatan berkumpul dengan keluarga itulah datang kabar
mengejutkan dari tetangga sebelah rumah.
Mushola Al-Aqsa dirubuhkan!
Alat berat telah menghancurkan mushola kecil itu.
Setiap batanya hancur berkeping keping. Pertemuan pengusaha dengan pemilik real
estate itu menemui kata sepakat. Dibantu dengan warga, polisi pamong praja, dan
juga kyai terkenal ikut menjalani proses pembongkaran mushola itu.
Bagaimana dengan Pak Ghafar? Pak Ghafar telah
meninggal tepat dua hari setelah Idul Fitri akibat sakit jantung yang lama
dideritanya, Berpulang membawa serta reruntuhan Mushola Al-Aqsa tepat ke
pangkaunNya. Lihatlah, di penghujung usianya Pak Ghafar masih mengulum senyum.
Begitu ujar warga yang turut memandikan jenazah Pak Ghafar sebelum ke
peradunnya.
Langit masih terlihat mendung ketika kami sekeluarga
tiba kembali di rumah. Hatiku ikut hancur demi melihat Mushola Al-Aqsa yang
hancur. Ditemani rintik hujan yang mulai berjatuhan, aku berdiri mematung
ditengah reruntuhannya. Tepat disini, pernah berdiri sebuah tua. Mushola
tempatku dulu belajar ilmu agama dari Pak Ghafar. Begitu mudahnya orang orang
itu menghancurkan dan mengacuhkannya. Tanpa pernah peduli hamcurnya mushola
kami dan hati didalamnya.
Bahkan saat usiaku kini menginjak 30-an tahun masih
terdengar sayup sayup merdu alunan Pak Ghafar mengaji. Masih terbayang ayunan
lidi Pak Ghafar menyapu, sambil sesekali melempar senyum kepadaku. Kuceritakan
kepada anakku bahwa disini, dibawah rumah megah berlantai dua, pernah ada
mushola tua berdiri. Terkubur oleh rasa angkuh dan acuh manusia.
Catatan penulis;
Cerita ini didedikasikan untuk mushola mushola kecil
yang sepi karena pembangunan masjid besar didekatnya. Seringkali manusia abai
dengan pembangunan masjid tanpa mempedulika dampak social terhadap
masjid/ushola lain di sekitarnya.
Sekian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar