Minggu, 24 November 2019

Cerpen | Delirium



Lampu telah dimatikan satu jam yang lalu, tapi mataku masih saja sulit terpejam. Sekumpulan Spectre melintas untuk yang ke-23 kalinya malam ini. Meninggalkan getaran hebat di dinding kabin kami. Apakah ini yang membuatku sulit terpejam? Tentu saja tidak. Aku sudah terlalu terbiasa tidur dalam kondisi seperti ini.

Sesekali mataku melirik ke tempat tidur seberang. Anita, bibiku terlihat tidur dengan pulas. Syukurlah, pikirku dalam hati. Paling tidak malam ini kami terhindar dari amarah tetangga kabin yang sering terganggu akibat igauan dan racauan Bibi Anita tiap malam.

Namaku Aletta. Aku lahir jauh dari masa yang kalian kenal sekarang. Masa dimana tak kalian temukan lagi planet birumu yang indah. Atau beragam bahasa yang kalian gunakan sehari-hari. Atau bahkan makanan lezat buatan ibumu yang selalu terhidang diatas meja. Paling tidak kalian pernah menikmati semua itu. Tidak denganku. Tidak dengan kami.

Setelah perang nuklir menghancurkan kota-kota besar di dunia. Setelah zaman es kedua merubah muka planet Bumi. Setelah virus K menyerang tumbuhan hingga ke akar-akarnya. Kami mulai berpikir bahwa planet Bumi tidak lagi milik kami. Maka, langkah besar pun kami ambil. Dengan kecanggihan teknologi yang kami miliki, kami melakukan terraforming di planet Mars. Namun, terraforming itu cacat. Jutaan dari kami harus tewas ketika evakuasi besar-besaran berlangsung. Sedangkan sisanya mengungsi ke Titan, satelit planet Saturnus dan hidup hingga sekarang.

Dan disinilah kami, terasing jauh dari Bumi. Tinggal di stasiun luar angkasa Telstar dan hidup seadanya.