*Bersihin sarang laba-laba…*
Huft… enggak kerasa sudah genap sepuluh bulan blog ini
terbengkalai dengan sadisnya. Jika diumpamakan binatang peliharaan sih… pasti
blog ini bakal pergi meninggalkan majikannya karena sudah sepuluh bulan enggak
dikasih makan!!
Kejem banget ya majikannya? Iya emang…
Tapi pasti ada alasannya dong kenapa sampai selama itu
blog ini terbengkalai? Enggak lain dan enggak bukan adalah karena sang empunya
blog sedang bersemedi di kaki gunung Semeru untuk meningkatkan jurus
rawaronteknya. Eheheheh.. Becanda ding! Karena admin blog ini sedang menjalani
dunia yang masih baru baginya yaitu “dunia kerja”. Alhamdulilaahh…
Toh enggak semuanya pekerjaan yang kita jalani
berjalan mulus. Ada kalanya kita dihadapkan dengan pekerjaan yang kurang sesuai
atau tak cocok dengan passion kita. Pekerjaan yang justru malah membuat kita
tertekan dan tidak menikmatinya seperti kebanyakan orang normal lainnya. Hal inilah
juga yang aku alami ketika baru pertama kali mencicipi dunia kerja.
Nah, dipostingan kali ini saya ingin membagikan
pengalaman perihal pekerjaan pertama yang penuh lika-liku, keringat, dan derai
air mata.
It’s gonna be a long story, dude, so segera pakai sabuk pengamanmu
dan duduk dengan tenang.
Singkat cerita, setelah mengikut tes wawancara dan
psikotest, akhirnya aku mendapat kabar penerimaanku sebagai calon karyawan baru
di PT. CBA Chemical Industry dan diwajibkan untuk mengikuti training selama 2
bulan di Bogor, Jawa Barat. Karena waktu yang sedemikian mepet, aku langsung
packing dan bersiap untuk berangkat, tanpa tahu latar belakang pekerjaannya
apa.
Hingga saat perjalanan, tak ada yang tahu apa itu CBA.
Prasangka jelek trus membayangiku. Jangan-jangan perusahaan bergerak di bidang
jual beli organ tubuh manusia? Atau jangan-jangan aku bakal dipekerjakan di
café buat ngelayanin om-om? Duh, sampai sini aku sempat bergidik ngeri. Karena
pihak perusahaan memang minim sekali member penjelasan tentang jobdesc dan
training yang nanti bakal dijalani.
Dengan segenap hati dan berbekal kemauan yang kuat,
aku berusaha memantapkan diri untuk berangkat sendiri. Karena jujur, inilah saat
yang aku tunggu-tunggu. Saat dimana aku bisa merasakan betapa kerasnya dunia,
mengenal hal-hal baru, dan bertemu dengan teman baru pula. Maka malamnya
berangkatlah aku dengan travel, diiringi dengan restu orang tua tentunya…
Perjalanan travel dengan kondisi sarat penumpang
memang selalu sukses bikin pusing kepala. Setelah diguncang-guncangkan selama
delapan jam tanpa prikemanusiaan, kami ber-19 akhirnya tiba di kantor pusat
CBA. Oh ya, kami ber-19 berasal dari empat kota yang berbeda, Indramayu,
Cirebon, Pekalongan, dan Yogyakarta.
Nah, dari briefing yang diberikan para dedengkot perusahaan,
aku jadi tahu ternyata CBA adalah perusahaan yang bergerak di bidang pertanian.
Menjual pestisida, sprayer, benih, dan mulsa (semacam plastik untuk mencegah
pertumbuhan gulma). Dan trainee yang berjumlah 19 (yang semuanya laki-laki)
inilah yang nantinya bertugas untuk menjual produk pertanian ini kepada petani.
Uniknya, tidak ada satupun dari kami yang berlatar belakang pendidikan
pertanian. Nah loo…
Brifing selesai menjelang malam dan malam itu juga
kami dibawa ke bangunan dua lantai yang berlokasi di Babakan Madang, Sentul,
Bogor. Di bangunan inilah rencanya kami bakal digojlok selama dua bulan full.
Untungnya sih semua akomodasi ditanggung dan kami dapat uang saku satu juta
perbulan.
Jangan ditanya deh tentang fasilitas yang ada di
gedung ini. Jelek-jelek gedung ini memiliki kamar mewah dengan fasilitas hotel
bintang lima, makanan yang dimasak dengan chef sekelurahan diundang khusus
untuk melayani kami semua. Hebat kan…
Menjalani kehidupan di mess memang seneng seneng
susah. Senengnya saya dapat banyak teman dari berbagai kota, dapat banyak
pengalaman dan pengetahuan tentang dunia pertanian, dan bisa jalan-jalan
keliling Bogor. Susahnya sih, kita menjalani kegiatan dengan gaya semi-militer
disini. Mulai dari bangun pagi kami disuruh mentor untuk lari pagi, push-up 20
kali, dan ditutup dengan apel pagi. Siangnya, kami dicekoki dengan materi
tentang produk knowledge, negotiaton
skill, marketing skill, de el el, dan dilanjut dengan materi tentang
motivasi hingga tengah malam. Otomatis kami hanya diberi kesempatan istirahat
yang mepet. Parahnya, semua ini berlangsung selama dua bulan penuh, kecuali
untuk hari minggu yang kami gunakan untuk istirahat total.
Kenapa saya bilang “absurd” atau tak masuk akal?
Karena hampr semua materi nantinya tidak kami gunakan selama pekerjaan kami di lapangan.
Materi yang kami dapat malah lebih mengarah ke pelatihan “satpam” daripada
seorang marketing. Usut punya usut, ternyata HRD sini belum pernah mengadakan
training sebelumnya. Oalaah, pantas saja jadwal training aneh gini.
Hidup dua bulan dalam ruangan tanpa sekat bikin kami
merasa bukan lagi seperti teman, tapi lebih sebagai saudara. Susah senang kami
alami bersama. Kami juga jadi tahu bagaimana karakter satu sama lain. Ada
tukang ngorok, ada tukang kentut, ada tukang nyolongin korek api buat udud, ada
juga yang hobi ngumpetin celana dalam, komplit deh pokoknya.
Toh biar bagaimanapun kami menjunjung solidaritas yang
tinggi. Bila ada satu teman kami yang kena masalah, kami semua kompak untuk
membelanya mati matian di depan pengurus Training Center. Semua rasa persaudaraan
ini sih terpupuk karena kami sadar bahwa kami memiliki satu tujuan yang sama
yaitu sama-sama “mencari kerja”. Karenanya, tak ada istilah untuk saling sikut.
Apalagi kami merasa masih bau kencur dalam dunia kerja.
Bersama mereka, dua bulan berlalu tanpa terasa. Hingga
hari penempatan kerja-pun tiba. Tak bisa dibayangkan kegalauan kami pada saat
itu, karena keputusan pengurus TC ini bakal menentukan sukses tidaknya kami
berjualan dan memenuhi target nantinya. Buat kalian yang belum tahu, penjualan
pestisida berbeda di tiap daerahnya. Penjualan pestiseida terbesar justru ada
di luar jawa daripada di jawa sendiri. Denger denger sih karena di jawa
kompetitor merajai pemasaran daripada produk yang nanti kami pasarkan.
Duh gusti… ternyata malam itu memang saya lagi apes.
Saya mendapatkan penempatan di Malang, Jawa Timur. Sedang teman-teman yang lain
terpisah jauh di luar jawa, seperti Medan, Aceh, Banjarmasin, Palembang, atau
Sampit. Ya sudahlah, rezeki sudah ada yang mengatur. Setelah packing dan
briefing singkat, kami diantar supir untuk menuju stasiun menuju Malang.
Malang memang kota baru buatku. Kota yang diapit
gunung semeru dan gunung Arjuna ini memang begitu menarik. Karena itu, hal yang
pertama kali terlintas dipikiranku saat pertama kali di Malang adalah;
“Bisa jalan-jalan ke mana aja nih?” Hehehe… jiwa
nge-bolang sedang kumat sepertinya.
Kantor CBA cabang Malang tidak seperti yang aku
bayangkan sebelumnya. Tidak ada papan bergambar logo CBA di dekat pagar. Tidak
ada orang bekerja di kantoran. Yang ada hanya kesibukan bongkar muat barang di
gudang.
Perkenalan dengan sang kacab berlangsung singkat dan
untuk mengawali perkerjaan aku diperintahkan untuk beradaptasi dengan wilayah
kerja, menghapal jalan, mendata kios kios pertanian yang berhasil dijumpai, dan
mencari kost-kostan yang berdekatan dengan kontor.
Bagian terakhir ini nih yang seru. Kebetulan kantor
berdekatan dengan kampus ITN (Institute Teknologi Nasional) Malang jadi tak
terlalu sulit untuk mencari kost murah meriah.
Hari pertama kerja, aku nurut apa yang diperintahkan
kacab. Jalan keliling Malang menghapal jalan, mendata persebaran kios kios
pertanian, dan bertemu dengan petani. wilayah ini meliputi Poncokusumo, Wajak,
dan. Wilayah di lereng gunung bromo yang terkenal penghasil holtikultura.
Dan ternyata tak semulus harapan…
Dari lapangan aku mendapatkan pengalaman nyata
dibanding pengalaman maya di training dua bulan kemarin. Dari lapangan juga aku
jadi tahu bahwa CBA ternyata hanya brand obat pertanian kelas dua. Kalah kelas
jika dibanding produk kompetitor. Bisa dibayangkan betapa susahnya menjual produk
ini kepada para petani. Apalagi petani kebanyakan bersifat fanatik terhadap
satu merk tertentu saja.
Dikejar target dan laporan bertubi-tubi nikin stress
juga. Untuk melepas tekanan kerja, hari minggu pagi, aku memutuskan untuk
nge-bolang bareng teman satu kost ke Bromo. Kami melewati jalur Poncokusumo
menuju Bromo, melewati jalan cadas berpasir, dan disuguhkan pemandangan spektakuler
dari puncak Bromo. Yap, itulah pertama kalinya aku menjejakkan kaki di Bromo.
Eits… jalan-jalan terus, kerjaannya gimana nih?
Seperti yang kalian tebak; GAGAL TOTAL. Nilai
penjualanku berada diposisi paling buncit jika dibanding teman-temanku. Ketentuan
yang tertulis sudah jelas bahwa “jika trainee tidak mencapai target maka
dinyatakan tidak lulus”. Yang lebih menyakitkan, pihak TC tidak mau peduli
tentang kendala yang saya alami di lapangan. Oke… sampai disini saya bisa
menerima. Toh, setelah berpikir ulang, pekerjaan ini tak sesuai dengan minat
dan bakat saya.
Tepat tiga bulan di Malang, kami ber-19 dipanggil
kembali ke pusat training di Bogor. Diminta mem-presentasikan segala pengalaman
kami dilapangan, menjelaskan kendala-kendala yang kami hadapi, dan menunjukan
nilai penjualan. Aku terlihat berbeda dengan teman lain karena penjualanku yang
sangat kecil. Dari 19 orang, 5 diantaranya gugur karena nilai penjualan yang
tak mencapai target. Kami berlima pun dipastikan gugur dalam program supervisor
ini dan dipulangkan.
Jujur, tak ada perasaan sakit hati karena kegagalan
mendapatkan pekerjaan ini. Apalagi aku sadar aku tak cocok dengan pangkat
seorang supervisor. Yang membuat aku berat adalah menghadapi kenyataan bahwa
aku meninggalkan perusaahan ini, tempat dimana pertama kalinya aku belajar
tentang dunia kerja, mendapat banyak kenalan dan pengalaman, dan merasakaan
tekanan kerja yang sesungguhnya. Ini point yang membuat aku kecewa…
Tak ada penyesalan setelah aku menjalani hampir
delapan bulan dengan perusahaan ini. Toh, aku mendapat banyak sekali pengalaman
yang pasti berguna untuk menhadapi dunia kerja baru kelak. Saya malah berasa
“berhutang” karena meninggalkannya tanpa memberikan “sesuatu” kepada
perusahaan.
But, the show must go on…
Aku harus terus move-on dengan melupakan semua itu dan
mencari pekerjaan baru. Masih terbayang ketika dengan asyiknya kami, para calon
supervisor, mengobrol dan bercanda sambil menyeruput kopi. Ditemanii dinginnya
cuaca kota Bogor yang kadang berkabut. Ah, sulit bagiku untuk mendapatkan
kehangatan itu kembali. Semuanya hanya sekelebatan ingatan yang terselip dalam
otakku.
Sekian dulu cerita tentang pengalaman kerja pertama
ini. Masih banyak lagi yang kudu disiapkan. Mumpung masih muda, tak ada kata
menyerah setelah mengalami kegagalan. Yang ada aku harus kembali untuk menulis
lagi daftar mimpiku yang sempat pudar. Sebelum rasa putus asa itu menguasai
pikiranku.
17 Oktober 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar