Lampu telah dimatikan satu jam yang lalu, tapi mataku masih saja sulit
terpejam. Sekumpulan Spectre melintas
untuk yang ke-23 kalinya malam ini. Meninggalkan getaran hebat di dinding kabin
kami. Apakah ini yang membuatku sulit terpejam? Tentu saja tidak. Aku sudah
terlalu terbiasa tidur dalam kondisi seperti ini.
Sesekali mataku melirik ke tempat tidur seberang. Anita, bibiku terlihat
tidur dengan pulas. Syukurlah, pikirku dalam hati. Paling tidak malam ini kami
terhindar dari amarah tetangga kabin yang sering terganggu akibat igauan dan
racauan Bibi Anita tiap malam.
Namaku Aletta. Aku lahir jauh dari masa yang kalian kenal sekarang. Masa
dimana tak kalian temukan lagi planet birumu yang indah. Atau beragam bahasa
yang kalian gunakan sehari-hari. Atau bahkan makanan lezat buatan ibumu yang
selalu terhidang diatas meja. Paling tidak kalian pernah menikmati semua itu.
Tidak denganku. Tidak dengan kami.
Setelah perang nuklir menghancurkan kota-kota besar di dunia. Setelah zaman
es kedua merubah muka planet Bumi. Setelah virus K menyerang tumbuhan hingga ke
akar-akarnya. Kami mulai berpikir bahwa planet Bumi tidak lagi milik kami.
Maka, langkah besar pun kami ambil. Dengan kecanggihan teknologi yang kami
miliki, kami melakukan terraforming di planet Mars. Namun, terraforming itu
cacat. Jutaan dari kami harus tewas ketika evakuasi besar-besaran berlangsung.
Sedangkan sisanya mengungsi ke Titan, satelit planet Saturnus dan hidup hingga
sekarang.
Dan disinilah kami, terasing jauh dari Bumi. Tinggal di stasiun luar
angkasa Telstar dan hidup seadanya.
“Kau belum tidur juga, Nak?” ujar Bibi Anita mengagetkanku.
“Belum. Toh, percuma saja aku tidur. Dua jam lagi kelas Bumi akan dimulai”,
jawabku asal. Menyembunyikan fakta bahwa aku tak bisa tidur demi menjaganya.
“Bergegaslah. Kelas Bumi sangat bermanfaat untuk anak muda sepertimu.
Terratorium adalah tempat yang menyenangkan untuk belajar”.
Bibi Anita menatapku teduh. Seteduh tatapan seorang ibu kepada anaknya.
Gurat gurat wajahnya menunjukan keletihan luar biasa. Setiap malam seringkali
mengigau sambil meracau kalimat-kalimat ilmiah yang tak pernah kumengerti.
Mungkin di dalam hati dia masih menyisakan kegetiran akibat tragedi di Mars
dulu, entahlah.
Asal kalian tahu, Anita bukan ibu atau bibiku. Maksudku, kami bertemu saat
pengungsian besar-besaran terjadi. Bibi Anita – belakangan aku sadar jika dia
adalah mantan fisikawan penting N-Tech – menyelamatkanku dari bencana
mengerikan itu. Saat itu umurku masih dua tahun. Masih terlalu kecil untuk
sekedar mengingatnya. Namun, hingga sekarang seakan masih terdengar jelas suara
jeritan minta tolong yang menyayat hati. Ya, bagi sebagian orang-orang di
Telstar kejadian di Mars dulu adalah tragedi mengerikan, yang akan sangat sulit
kami lupakan.
*******
Aku datang terlambat. Terratorium
sudah ramai oleh anak-anak. Ada yang mengetik sesuatu di layar komputer
kuantum, ada yang menghafalkan nama binatang lewat hologram, dan ada juga yang
sibuk mengawasiku sejak masuk tadi. Oh, ternyata itu Rave.
“Hai, Rave...”, sapaku
hangat.
Rave adalah robot
humanoid generasi kelima yang tersisa di Telstar. Nama aslinya adalah RV-106 tapi
aku lebih sering memanggilnya Rave. Dan karena dia android generasi kelima, dia
sudah sangat mirip dengan manusia.
Rave hanya tersenyum
singkat kearahku dan kembali memusatkan perhatiannya pada pelajaran di kelas
Bumi.
“Pelajaran apa kali ini,
Rave? Apakah aku ketinggalan sesuatu?”
“ini hebat, Al! Bu
Felucia sedang menerangkan sebuah negara yang unik. Negara ini punya ratusan
suku, bahasa, arsitektur... belum lagi setiap daerah memiliki permainan
tradisional sendiri”.
Aku langsung tertarik.
Padahal kau tahu? Aku tak pernah sekalipun tertarik dengan semua pelajaran di
Terratorium. Menurutku belajar sejarah itu membosankan. Tak ada gunanya belajar
dari sesuatu yang telah punah.
“Apa nama negara itu?”
“Entahlah, namanya tidak
ada di database...”, jawab Rave.
“Taruhan 100 bitcoin,
tempat itu sudah musnah dua millenium lalu”, Athena – yang dia baru mengetahui
namanya berasal dari nama kota tua di bumi – ikut menjawab.
“Darimana kau tahu?”, ujarku
penasaran.
“Pesisir barat benua
asia lenyap akibat perang nuklir dua ribu tahun lalu”.
Tak lama, Bu Felucia
menjelaskan persis seperti yang dikatakan Athena barusan.
Terratorium memang
khusus dirancang untuk kami, para generasi muda. Disinilah tempat kami belajar
tentang peradaban Bumi kuno. Tujuannya tentu saja agar semua bukti peradaban
manusia tidak punah begitu saja.
Ini adalah pemikiran brilian
dari Presiden Axel. Tentu saja, dia tidak ingin manusia kalah oleh waktu dan
takdir. Semangatnya bertahan hidup sungguh menginsprirasi kami mengingat apa
yang sudah terjadi dengan kami.
Bagi kami sendiri,
Terratorium tak ubahnya sebagai tempat bersenang-senang. Tempat dimana kami bisa
berkumpul bersama anak-anak seusia. Sejenak melupakan rasa cemas dan putus asa
tentang masa depan kami. Sambil meniti kembali kehidupan kami.
*******
Terkadang, keputusan
tidak masuk akal yang kita buat akan menentukan takdir yang telah tertuliskan
untuk kita.
Malam itu sirine
menggema di seluruh penjuru Telstar. Jangan heran, sirine-sirine seperti ini
seringkali dibunyikan disini. Jika bukan karena peringatan dinding Telstar yang
berlubang akibat badai silika, pasti karena water reclaimer-nya yang
bermasalah. Sedikit banyak, bunyi sirine yang meraung-raung ini menyadarkan
kami bahwa kami hidup ditempat yang tidak semestinya.
Namun, sirine ini bukan
yang lazim diperdengarkan di Telstar. Suara sirine ini mengisyaratkan agar
seluruh orang untuk berkumpul di balaikota tanpa terkecuali. Tsk berselang
lama, tua-muda, dewasa dan anak-anak memadati ruangan balaikota yang luasnya tidak
seberapa itu. Dinaungi begitu banyak pohon sintesis dan drone pengawas. Tak
ketinggalan, petugas keamanan bersenjata lengkap juga hadir disana. Petugas
keamanan? Apa yang sebenarnya terjadi? Akupun tak ketinggalan ikut berbaur
dengan ribuan orang itu setelah kelas bumi terpaksa dibubarkan oleh Bu Felicia.
Sesaat kemudian, Presiden Axel memulai pidatonya:
“Wahai warga Telstar
yang saya cintai... Jujur, saya tak tahu darimana harus memulai kabar ini. Sepertinya
kita selamanya berada di tempat yang tidak semestinya. Sepertinya kita
selamanya menjadi orang asing di tempat terasing...”.
Ribuan orang terdiam,
menerka-nerka kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Beberapa orang bahkan
sibuk menghubungi kerabatnya setelah membaca gelagat yang kurang baik.
“Pagi ini satelit
mata-mata kami menangkap objek berbahaya di koordinat A76-81. Sebuah gangguan
ruang dan waktu. Benda itu akan menghisap apapun di dekatnya dan menjadikannya
jadi debu. Dalam waktu kurang dari satu jam, benda itu akan menuju kemari. Saya
minta semuanya jangan panik dan mengikuti prosedur evakuasi dengan tertib
menuju Bumi”.
Seketika suasana balaikota
dilanda kecemasan. Trauma yang belum sepenuhnya sembuh kini meletup lagi. Dalam
kepanikan, pikiranku hanya satu: membawa Bibi Anita secepatnya menuju pesawat
pengungsi terdekat. Tapi tiba-tiba seseorang menarik tanganku.
“Al, lekas! Bibi Anita
mengigau lagi. Kali ini lebih gawat. Dia juga memanggil-mangil namamu”, Rave
setengah menarik tanganku. Aku bertambah panik. Dia kemudian menuntunku menuju
kabin, mencoba menembus gelombang manusia yang berniat melarikan diri.
Di dalam kabin, Bibi
Anita meracau sejadi-jadinya. Tangannya mencakar dinding kabin hingga jarinya
berdarah-darah. Aku trenyuh
melihatnya dan reflek memeluknya erat. Sudah cukup. Apapun yang terjadi aku tak
ingin meninggalkan Bibi Anita dalam kondisi seperti ini. Tapi tiba-tiba Bibi
Anita berontak dan mendorongku hingga aku jatuh terduduk.
“Kenapa kalian masih
disini? Pergilah! Pergi kalian berdua! Tempat ini sudah dikutuk. Kita semua
adalah makhluk terkutuk! Kita seharusnya adalah khalifah di Bumi, bukan justru
malah merusaknya...”.
Entah kenapa racuan kali
ini terdengar sangat jelas. Aku dan Rave masih berdiri mematung demi
mendengarnya. Sementara itu, sirine tanda bahaya terdengar semakin nyaring.
Pertanda bahaya semakin dekat.
“Aletta, Rave... kalian
pergilah menuju benda hitam itu. Disana akan kalian temukan takdir yang telah
digariskan kepadamu...”.
Tak berselang lama – setelah
menyelesaikan kalimatnya – Bibi Anita kembali mengamuk. Dia hampir saja
menyerang kami hingga memaksa kami mengunci kabin dari luar.
Aku tercenung dan
mendadak teringat akan sesuatu.
“Rave, sepertinya aku
tahu apa yang selama ini terjadi pada Bibi Anita. Kau ingat salah satu kelas di
Terratorium? Di Bumi dulu pernah ada sebuah kepercayaan yang Tuhannya
memberikan semacam wahyu dan petunjuk melalui mimpi. Aku yakin Bibi Anita
sedang mengalaminya...” ujarku spontan kepada Rave.
“Kau gila, Al! Maksudmu
kita harus terbang menuju lubang cacing itu? Benda itu akan menghancurkan kita
menjadi debu. Lagipula, dalam kepercayaan itu wahyu diberikan kepada manusia
terpilih. Kau yakin Bibi Anita adalah manusia terpilih?”.
“Wahyu atau petunjuk itu
bisa diturunkan kepada siapapun dan dimanapun, Rave. Termasuk manusia terakhir
seperti kita. Dan ingat, selama ini kita tak punya database apapun tentang
benda itu. Benda itu memang menyedot apapun disekitarnya, tapi kita tak pernah
tahu kemana itu akan dibawa, bukan?”.
Rave masih tak percaya.
Walau bagaimanapun, terbang menuju lubang cacing adalah tindakan gila.
Bertentangan dengan tujuan pemrograman dirinya selama ini.
“Rave, percayalah
padaku! Kita tak punya pilihan lain. Melarikan diri ke Bumi adalah tindakan
bodoh. Tempat itu sudah sekarat. Tak ada apapun yang bisa membuat kita bertahan
disana. Aku yakin, kembali ke sana sama dengan bunuh diri...”.
Kali ini Rave tertegun,
mulai percaya. Dan sedetik kemudian dia menarik tanganku dan berseru tertahan.
“Ayo, Al! Kita harus
cepat menuju pangkalan. Aku yakin masih ada beberapa Spectre di sana yang masih bisa kita gunakan!”.
Di pangkalan, suasana
kacau balau terjadi. Banyak orang berebut masuk ke Spectre, tak membawa apapun kecuali kepanikan dan keputusasaan. Di
tengah kekacauan ini, tak sulit bagi kami untuk mencuri sebuah Spectre. Kamipun
bergegas menuju kokpit dan memakai sabuk pengaman.
“Kau bisa menerbangkan
benda ini, Rave?”, tanyaku ragu.
“Aku pernah bekerja
untuk militer, Al! Usiaku bahkan lebih tua daripada benda ini. Dan kau tahu?
Aku tak pernah terbang dalam kondisi gila seperti ini. Ini ide gila, Al! Tapi
bukankah selama ini kita sering melakukan hal-hal gila bersama?”.
Aku tersenyum. Pesawat
kami terbang melesat meninggalkan Telstar yang mulai runtuh akibat gempa.
Sesaat Rave mulai
kehilangan kendali Spectre. Dan sesaat itu juga bayangan gelap menyelimuti
tubuh kami. Hening. Hingga sebuah cahaya sangat terang melintas seakan menembus
tubuh kami.
*******
“Apakah kau takkan
meninggalkanku?”, tanyaku perlahan kepada Rave. Semilir angin mengibaskan
rambutku yang panjang. Di kejauhan suara debur air terjun berirama bagai lagu
kedamaian.
Rave mengangguk mantap.
Aku tersenyum yakin.
Rave memegang jemariku,
lantas kami menyusuri padang ilalang menuju danau, dilatarbelakangi gunung
berwarna hijau yang memesona. Mulai hari ini, kami punya banyak pekerjaan
menunggu. Apalagi kalau bukan membangun peradaban baru di Tanah Harapan.
Disini, cerita kami baru
saja dimulai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar