Selamat pagi,
siang, sore warga netijen yang budiman dimanapun kamu berada.
Bertemu lagi dengan saya dalam sebuah blog yang postingannya engak penting
penting amat. Namun, selalu dibuat dengan perasaan yang tulus dan khidmat.
Sekarang ini kita hidup di zaman serba cepat. Hanya dengan sentuhan jempol
kita bisa mendapat berita ber-mil – mil jauhnya. Situs beritapun terus tumbuh
bak hujan di musim jamur (Ups, sory! Kebalik). Mengalahkan kanal berita
konvensional berbasis cetak yang selama ini merajai industri berita tanah air.
Karena banyaknya situs berita maka persainganpun terjadi sangat ketat. Ahli
SEO dan programmer berlomba lomba agar situs berita miliknya menguasai mesin
pencari seperti google. Beritapun mereka buat dengan judul semenarik mungkin
demi mendapatkan visitor sebanyak mungkin. Semakin banyak visitor yang
mengunjungi situs berita, semakin banyak pula pundi pundi rupiah
Tapi ada saja oknum wartawan menempatkan uang diatas segala-galanya
dibanding susah susah membuat berita yang berbobot dan berkualitas. Orang yang
ngaku ngaku wartawan ini lebih memilih membuat berita bombastis atau ‘berita
pesanan’ dari kelompok tertentu. Yah, mau gimana lagi? Zaman sekarang siapapun
bisa menjadi wartawan dadakan. Hanya dengan bermodal smartphone, seoran tukang
becak pun bisa jadi wartawan dadakan. Foto, video, artikel bisa
diperjualbelikan kepada kantor berita yang berani membayar mahal.
Bekerja di dunia tulis menulis seperti jurnalistik memang dituntut bekerja
se-kreatif mungkin. Apalagi setiap situs berita pasti punya target visitor
tersendiri yang harus dipenuhi. Dan sepertinya situs situs berita tadi punya
cara tersendiri dalam menggaet visitor sebanyak banyaknya.
Udah puas ngeliatnya? Kalo belum scrool lag juga boleh. Jangan lupa benerin
dulu tu celana... xixixixi
Jika kalian jeli, kalian akan dengan mudah menemukan berita berita “cantik”
seperti diatas. Berjejal diantara berita politik, olahraga, ataupun kriminal.
Berita ini seakan menjadi daya tarik tersendiri ditengah panasnya isu isu yang
tengah ada.
Membaca judulnya yang (sedikit) vulgar ditambah dengan foto sensual, pria
manapun pasti tergelitik untuk segera meng-klik berita tadi.
Nb: Biasa aja deh ngeliatnya, sob! Enggak usah melotot
gitu. Saya ingatkan ya: INI BUKAN SITUS PORNO!
Profesi wanita yang masuk kategori berita
inipun bermacam macam. Menyentuh kalangan atas hingga bawah. Mulai dari istri
pejabat, polwan, sosialita, hingga penjual dawet sekalipun! Ah, yang bener?
Emang ada penjual dawet cantik? Nah, inilah ‘barang dagangan’ yang sedang ditawarkan
untuk menggaet jempolers di alam maya.
Menurut harian Kompas yang saya baca
(Sayangnya, saya lupa kapan harian ini terbit) setidaknya ada tiga unsur berita
yang sangat digemari masyarakat umum, yaitu: Ghost, Girl dan Gun.
Berita – berita “cantik” tadi sudah pasti
punya unsur berita “girl” didalamnya. Menurut kode etik jurnalistik sekalipun berita
ini sama sekali tidak salah. Toh, berita ini tetaplah sebuah berita. Walaupun,
yeah... sifatnya hanya untuk hiburan semata.
Wartawan Zaman Dulu VS Wartawan Zaman Now
Semasa kecil orang tua saya sering
bertanya begini: “Cah Bagus, kalo sudah besar nanti kamu mau jadi apa?”.
Sayapun dengan mantap menjawab: “Wartawan”.
Menurut saya, bekerja menjadi wartawan itu
seru. Bisa blusukan keliling Indonesia, bisa bertemu orang orang penting, atau
menjadi saksi kejadian yang mungkin ditulis dalam sejarah bangsa ini.
Menilik dari sisi sejarah, wartawan juga
punya andil dalam mewujudkan kemerdekaan negeri ini. terbukti dengan bagaimana
mereka menjadi gerakan perjuangan melalui surat kabar, brosur, dan mural di
pinggiran jalan demi melawan propaganda penjajah. Mereka tidak memikirkan
berapa keuntungan yang diperoleh dari berita itu. Motivasi mereka hanyalah agar
negeri kita ini terbebas dari belenggu penjajah. Walaupun nyawa menjadi
taruhannya.
Zaman pun terus bergulir. Harga bahan
pokok sudah merangkak naik. Berita tentang kepahlawanan sudah tidak laku lagi
di pasaran. Yang laku justru adalah berita yang punya unsur 3G tadi. Orientasi
jurnalis pun berubah pembela kepentingan bangsa menjadi keuntungan pribadi
semata. Rasanya, sangat sulit mencari jurnalis yang punya idealisme di zaman
sekarang ini.
Media massa memang bagai pisau bermata
dua. Disatu sisi kita sangat dimanjakan dengan ragam berita yang disampaikan
untuk menambah wawasan. Disisi lain, media massa juga bisa mengabaikan nilai
nilai yang seharusnya ditolak masyarakat.
Sekarang, tinggal kita yang harus pintar
pintar memilah dan memilih baik buruknya berita yang ada.
Salam damai...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar