Senin, 19 Maret 2018

Cerpen | Angiérs FC



“Goooooooollll!!!”

Tendangan keras dari luar kotak penalti menghujam deras ke gawang Angiérs FC. Sontak, puluhan ribu penonton yang memadati Tigre Arena, markas Tigris FC berteriak kegirangan. Panji-panji klub diangkat tinggi-tinggi. Yel-yel dikumandangkan hingga membuat berisik seisi stadion.

Hari ini adalah pekan terakhir bergulirnya Luna League yang mempertemukan Tigris FC dan Angiérs FC. Pertandingan dua rival ini selalu menarik untuk ditonton, tidak hanya warga lokal tetapi juga seluruh dunia. Kedua klub selalu saling sikut berebut peringkat atas klasemen. Menguasai hampir separuh abad berjalannya liga.

Tapi sepertinya musim ini bukan milik Angiérs FC. Pekan lalu saja mereka ditahan imbang tanpa gol oleh tim promosi FC Zapata. Pekan berikutnya dikalahkan Olympique Blitz 0-2. Sebuah pencapaian yang tidak lazim bagi klub sebesar Angiérs FC.

Kondisi ini jelas membuat presiden klub, Marc Anthony, marah besar. Esoknya, dia mengadakan rapat mendadak. Dihadiri oleh jajaran direksi, staf kepelatihan, dan beberapa official tim.

“Kita harus segera bertindak! Tak mungkin kita melihat tim ini terus berada di papan tengah. Tidak untuk musim depan!” Tegas Marc Anthony mengawali rapat pagi itu.

“Benar. Jika keadaan ini terus berlanjut, kita terancam akan kehilangan banyak sponsor potensial”, dewan direksi lain turut menimpali.

“Lalu, apa kali ini alasanmu, Sam? Bukankah semua pemain yang kau minta sudah aku beli? Harga mereka lebih mahal dari gaji semua orang yang ada disini” Ujar Marc Anthony. Semua mata lantas tertuju pada Samuel Jefferson, pelatih Angiérs saat ini.


Seperti biasa, jika sebuah tim terpuruk prestasinya maka pelatihlah yang selalu dikambinghitamkan. Tak heran jika sebuah tim sepakbola bisa berganti pelatih hingga empat kali dalam semusim.

“Ayolah, Marc! Kita semua tahu jadwal Luna League sangat padat. Kami tak punya banyak waktu mempersiapkan tim hingga matang. Pemain hanya diberi waktu rata-rata dua hari untuk beristirahat” .

“Kelemahan tim ini adalah terlalu lambatnya pemain kembali dalam kondisi fit” bela Albert Carter, tim medis klub.

“Aku tak bisa menerima alasanmu ini, Sam. Bukankah kita mendapat porsi istirahat yang sama dengan tim lain? Kekalahan dari Tigris kemarin benar-benar memalukan. Selama puluhan tahun aku menjabat, tak pernah aku melihat tim ini kalah hingga 0-4!” Suara Marc meninggi.

Ruangan rapat mendadak hening. Tak seorangpun berani membuka suara. Selama ini Marc Anthony adalah presiden klub yang bijak, loyal dan jarang marah-marah. Jika dia marah berarti memang pertanda terjadi ketidakberesan dalam tubuh tim.

“Baiklah, beri aku waktu hingga musim depan. Aku akan membuktikan kepada kalian semua alasanku benar” Ucap pelatih Sam akhirnya.

Rapat kemudian ditutup. Dilanjutkan dengan pertemuan intern para petinggi klub. Seperti dewan direksi dan perwakilan sponsor tim.

Sementara itu di luar sana, media olahraga mendadak heboh. Beritanya apalagi kalau bukan spekulasi akan lengsernya pelatih Samuel Jefferson dari kursi kepelatihan Angiérs FC. Bahkan, majalah terkenal Audiosport memuat 8 kandidat pelatih terbaik pengganti Sam Jefferson di Angiérs FC.

***

Malam itu, awal musim dingin di kota pelabuhan Angiérs. Butiran salju mulai turun membasahi jalanan. Sepi. Hanya ada satu-dua pejalan kaki. Warga Angiérs lebih memilih duduk dekat perapian di rumah mereka masing-masing. Hanya sedikit diantaranya yang memilih menghabiskan waktu di Pub. Seperti yang dilakukan Sam saat ini.

Ada rona keputusasaan bergelayut di wajah tua pelatih Sam. Ya, dia tak sebodoh itu mengetahui hasil kongres klub siang tadi. sebuah ultimatum. Kesempatan terakhir baginya melatih Angiérs FC hingga pertengahan musim ke depan.

Bahkan managernya, Billy, sempat berujar, “Sepertinya keputusannya lebih buruk dari itu, Sam. Dewan direksi bukan tipe orang yang penyabar. Sekarang mulailah mengemasi barang-barangmu. Ada tim di liga profesional yang sedang mencari pelatih berpengalaman. Apa kau berminat?”

Sam menenggak scotch yang ada digenggamannya. Selama 20 tahun karier kepelatihannya, baru kali ini dia mengalami tekanan yang sedemikian hebat. Dulu, musim pertama melatih Angiérs FC dilewati dengan capaian luar biasa. Treble winner plus Piala Interkontinental berhasil diraihnya. Menahbiskan dirinya sebagai pelatih muda tersukses abad 21.

Dan sekarang? Dengan komposisi pemain yang rata-rata sama. Rasanya sulit sekali untuk mengulang semua itu. Dia merasa karier kepelatihannya sudah benar-benar habis. Jadi, tak ada salahnya dia disini, menikmati malam terakhirnya di kota Angiérs sambil mabuk.

Braaakkk!!! Tiba-tiba terdengar meja pub yang dipukul kasar.

“Sialan, kau. Lihat saja musim depan, Angiérs yang akan jadi juara” ujar salah satu pengunjung klub setengah membentak.

“Dengan pemain yang ada saat ini? Aku ragukan itu, Bung” Suara lain menimpali.
Seperti kota lainnya, di Angiérs, pub adalah tempat sakral bagi pengamat sepakbola amatiran. Debat kusir. Obrolan ringan untuk semua kalangan. Tanpa terlebih dahulu saling mengenal, tua-muda, kaya-miskin duduk bersama dalam satu meja. Ditemani dengan beberapa gelas bir ringan dan kepulan asap rokok. Membicarakan satu agama: sepakbola.

“Tak seharusnya Brad Davis ditarik di babak kedua. Sebagai playmaker, dia sudah berhasil menjaga keseimbangan tim. Lihatlah apa yang terjadi setelah dia keluar. Tim ini seperti banteng yang kehilangan libido-nya!” kata seorang pria sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.

“Benar. Aku tak tahu apa yang ada dalam pikiran pelatih Sam. Dia selalu bertindak ceroboh. Banyak pemain ditempatkan tidak pada posisinya. Formasi yang dia gunakan juga itu-itu saja. Membosankan!” tambah seorang pria muda.

Pelatih Sam tertarik. Dia berjalan mendekat menuju ke arah suara itu. Untungnya, saat itu dia memang sedang menyamar. Kebiasaan lama pelatih Sam untuk menghindari kejaran wartawan dan sorotan kamera papparazi yang kerap mengganggu privasinya. Bahkan, disebuah artikel olahraga Sam dijuluki “pelatih muka seribu” karena kepiawaiannya menyamar dan mengelabui mata wartawan. Dan sekarang dia merasa aman menyamar dengan topi, syal, dan kumis palsu.
Tanpa curiga, seseorang mempersilahkannya duduk.

“Jaga ucapanmu, Kawan. Kalian lupa? Musim lalu pelatih Sam membawa tim ini kepuncak prestasinya. Trebel winner dan Piala Interkontinental. Bahkan Tigris sekalipun tak bisa meriah prestasi yang tim ini pernah lakukan!” Ujar seorang pria kantoran berkacamata.

“Ha-ha-ha… Sadarlah, Bung. Itu dua tahun lalu. Lihatlah sekarang. Tim ini seperti sampah. Dilatih oleh keledai tua yang bodoh. Jika aku pemilik klub, sudah sejak dulu aku memecatnya dan mengganti dengan pelatih lain”.

Muka pelatih Sam merah padam menahan marah. Semua orang tertawa terbahak-bahak. Toh, Sam cepat-cepat mengatur kembali emosinya. Agar terhindar dari kehebohan yang lebih besar lagi. 

“Menurutku, pembelian pemain kemarin sia-sia. Tak ada satupun dari mereka yang bisa beradaptasi dengan iklim sepakbola Luna League. Pelatih jadi kekurangan opsi pemain di lini tengah”.

“Ya. Pelatih Sam jadi lebih suka memakai pemain lama. Mereka memang berpengalaman tapi sudah tua. Apa kau menonton pertandingan kemarin? Luis Silva sering kehilangan bola direbut pemain muda Tigris” yang lain ikut berkomentar.

“Padahal, jika ingin sedikit berusaha, banyak talenta talenta muda berbakat tersebar di desa-desa kecil di sekitar Angiérs”, ujar seorang tua berjanggut lebat.

“Desa mana yang kau maksud, Pak Tua?” Tanpa sadar, pelatih Sam juga ikut bersuara. Pak Tua tadi terkekeh.

“Banyak anak muda. Desa seperti Burnsville, Carlenville, atau Nazareth. Disana sering diadakan turnamen sepakbola amatir anak di bawah umur 18 tahun” Jawab kakek tua itu.

“Dan mungkin sebentar lagi di kota ini akan diadakan turnamen sepakbola seusia dirimu, Pak Tua. Kau harus ikut!” kelakar yang lain.

“Demi uang dan popularitas? Tentu saja aku mau… Ha-ha” ujar Pak Tua sambil tertawa terbatuk-batuk.

Pelatih Sam tak lagi menyimak obrolan itu. Dia sudah bergegas pulang menuju apartemennya. Banyak tugas yang menunggu untuk diselesaikan. Ya, obrolan para fans Angiérs tadi memberinya banyak insprirasi. Sesuatu yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya. Gairah kepelatihannya menggelora lagi!

***
Maka awal bulan desember yang dingin, dimulailah proyek itu. Pelatih Sam memboyong semua pemainnya berlatih di pulau kecil, Sable Island. Pulau itu terpencil. Akses listrik dan air sangat terbatas. Disana, pemain Angiérs dilatih kedisiplinan, kekompakan, dan kerjasama tim. 

Setelah musim dingin berakhir, giliran skill, akselerasi, dan determinasi pemain ditempa. Pemain didorong hingga ke batas kemampuannya. Sebuah metode latihan semi-militer yang berat dan melelahkan.

Perombakan besar dalam skuad tak terhindarkan. Pemain lama dijual. Sebagai gantinya, Sam mengutus banyak pemandu bakat untuk menemukan bibit-bibit muda bdrtalenta di desa kecil sekitar Angiérs. Beberapa diantara yang dianggap potensial dikontrak, dan diboyong mengikuti pelatihan di Sable Island.

Metode pelatihan baru ala Sam ini menjadi pemberitaan dimana-mana. Ada fans yang optimis, banyak pula yang skeptis menanggapinya. Toh, apapun anggapan itu tak menghalangi mereka untuk menonton putaran pertama Luna League yang digelar di Dun Arena, markas Angiérs FC.

Pertandingan melawan Deportivo Cabral berlangsung sengit. Pelatih Sam mencoba berjudi dengan menurunkan muka-muka baru. Hasilnya diluar dugaan. Anak anak muda ini menunjukan kelasnya sebagai pemain berbakat asli kota Angiérs. Satu kemenangan berhasil diraih. Dilanjutkan kemenangan selanjutnya. Lagi dan lagi.

Dari bench, pelatih Sam hanya tersenyum. Menikmati berisiknya sorak sorai penonton merayakan kemenangan. Di dalam hati dia berjanji, jika suatu hari prestasi Angiérs turun lagi, dia takkan segan untuk berkeliling semua pub di kota untuk mendengar keluh kesah fans setia kota pelabuhan yang indah ini.





Sekian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar