Sabtu, 17 Maret 2018

Layar Lebar Rasa Sinetron



Sumpah mati saya tidak bermaksud merendahkan film Indonesia disini. Tulisan ini adalah murni uneg uneg saya sebagai pencinta film amatir yang coba mengkritisi apa yang terjadi di depan hidung saja.

Cerita ini bermula ketika saya menerima ajakan teman buat menonton film Ayat Ayat Cinta 2. Kami semua penasaran dengan kelanjutan kisah Fahri di Ayat Ayat Cinta pertama (2008). Apakah dia masih dengan Sabina? Apa mereka sudah punya anak? Dan terakhir yang bikin penasaran adalah melihat mantan calon pacar saya, Chelsea Islan Tatjana Saphira yang bakal beradu acting di film ini. Wuuihh…

Nah, berbekal ke-kepoan luar biasa itu kami pun berbondong bondong pergi ke bioskop Banjarsari, kota Pekalongan.

Spoiler alert!

Film Ayat Ayat Cinta 2 masih seputar kehidupan Fahri. Namun, kali ini proses syuting dilakukan di Edinburgh, Skotlandia. Diceritakan, Fahri adalah professor muda yang tinggal di lingkungan plural, dimana ada tiga agama dengan islam sebagai agama minoritas. Pesan kesan Islamophobia sangat terasa di film ini sebagai Fahri sebagai objek pesakitannya.

Seperti pada film sebelumnya, Fahri digambarkan sebagai sosok yang matang dan bijaksana. Dia menolak marah saat satu persatu tetangga memusuhinya. Fahri juga selalu menjadi penengah dari masalah dalam kehidupannya. Alhasil, satu demi satu konflik berhasil diatasi dengan kesabaran, harta, dan ilmu yang dia miliki.

Maka jadilah seorang Fahri. Sosok manusia sempurna yang tampan, bijaksana, kaya raya, sholeh, pintar, dan…. digilai banyak wanita cantik seluruh jagad raya alam semesta.

Eh, tapi… tunggu dulu! Sempurna? Apa enggak salah?

Satu setengah jam nonton film ini sukses bikin saya ngantuk. Bosan melihat kesempurnaa Fahri yang terlalu sempurna untuk ukuran manusia normal. Mulai dari memaafkan tetangga yang mencorat coret mobilnya, menjadikan Sabina (yang bukan muhrimnya) menjadi pembantu dan tinggal bersama dalam satu rumah, hingga menyewa tutor biola terkenal hingga menjadi pemain biola terkenal. Semua kesempurnaan ini digambarkan secara berlebihan, simplisitis, dan… tidak masuk akal.


Seorang penonton disebelah saya bahkan sempat nyeletuk;”Emang ada ya orang kayak gitu di dunia?”. Saya pun manggut manggut mengiyakan. Yee… kirain Cuma saya doang yang ngerasain.

Sekali lagi, bukan maksud hati ingin merendahkan tapi nonton film Ayat Ayat Cinta 2 ini serasa nonton sinetron di tipi tipi ya?

Coba deh kalian resapi, apa yang dialami Fahri ini sama dengan yang dialami karakter karakter utama sinetron sinetron geje di tipi. Sama sama di bully, dimusuhi, dilecehkan, dan perlakuan tak menyenangkan lain. Tapi toh, Fahri tetap ikhlas, sabar, dan menyerahkan segalanya pada Yang Diatas. Ujung ujungnya bisa ditebak! Sang tokoh utama bahagia dan tokoh antagonis yang nge-bully tadi sadar dan bertobat.

Hehehehe… mirip dengan cerita Fahri di Ayat Ayat Cinta 2 ini, kan? Ngaku aja deh kalo memang mirip…



Karakteristik sinetron memang mudah sekali dipelajari. Kita bisa dengan mudah menebak mana yang karakter utama mana yang antagonis. Tokoh utama sinetron biasanya punya ciri good looking, baik, penyabar, enggak harus kaya sih tapi dia punya sifat ‘sempurna’ di banding tokoh lain. Selain itu, alur cerita sinetron juga gampang sekali ditebak dan cenderung enggak masuk akal alias lebay.

Kecenderungan yang paling parah adalah mulai maraknya film layar lebar Indonesia yang mengadopsi gaya penceritaan sinetron ini!

Ayat Ayat Cinta 2 hanyalah satu dari sekian banyak film layar lebar rasa sinetron. Saya akan ambil satu contoh film Indonesia lainnya, berjudul “ILY from 38.000 ft (2016)”. Film yang ber-setting di Bali ini dibintangi aktor dan aktris kece Michelle Ziudith dan Rizky Nazar.

Coba deh kalian resapi, dari awal filmnya saja sudah terasa banget gaya penceritaan khas sinetron. Ceritanya, Aletta (Michelle Ziudith) sedang otewe sendirian naik pesawat menuju Bali. Ditengah perjalanan dia diganggu seorang cowok SKSD yang coba merayu dia. Trus, datanglah si Arga (Rizky Nazar) mengambil alih kursi si pengganggu tadi. tiba di bandara, Aletta tal sengaja bertemu lagi dalam proyeknya si Arga bernama Geography Channel. Untuk selanjutnya? Bisa ditebak. Mereka berdua saling jatuh cinta walaupun di bumbui konflik disana sini.

Woouuuwww… sinetron banget!

Masih kurang? Ada lagi film yang punya rasa sinetron, berjudul “From London to Bali” (2017). Ceritanya tentang Lukman (Ricky Harun) yang depresi berat ditinggal Dewi (Jessica Mila) pacarnya ke London. Lukman yang masih belum rela ditinggal melakukan berbagai cara untuk menyusul sang doi ke London. Adegan pun bergerak cepat. Lukman pun pergi ke Bali, mengumpulkan uang, dan bertemu dengan Dewi di London.

Ide ceritanya menarik sih, tapi film ini punya begitu banyak ciri sinetron sejati. Dialog yang terlalu ringan, ditambah joke joke yang hambar, jadi serasa nonton FTV di tipi!

Selain film film yang sudah saya sebutin tadi, masih banyak film layar lebar rasa sinetron yang bergentayangan di bioskop bioskop tanah air. Mungkin dari kalian ada yang ingin menambahkan?



Menurutmu, seperti apa film yang baik itu? Apakah film yang mendapat banyak penghargaan? Apakah film yang jumlah penontonnya terbanyak? Atau film yang mendapat kritikan minim?

Pagelaran Academy Award atau Oscar adalah bukt sahih pemilihan film terbaik bukan berdasarkan jumlah penonton, melainkan kualitasnya. Untuk Oscar tahun ini, juara umum berhasil diraih film romansa mistik “The Shape of Water”. Film yang disutradarai Guilermo del Torro ini berhasil masuk dalam 13 nominasi, salah satunya adalah film terbaik, naskah asli terbaik, dan sinematrografi terbaik. Wow!

Uniknya, dari penayangan perdana desember 2016 lalu, The Shape of Water hanya membukukan pendapatan sebesar US$ 30 juta saja. Bandingkan dengan film Marvel “The Avengers (2016)” yang mendapatkan US$ 1,519 milliar!

Lihat, kan? Data berbicara bahwa film terbaik belum tentu mendapatkan pendapatan yang terbaik pula. Mungkin karena alasan inilah para sineas dunia lebih memilih membuat karya “terlaris”, bukan “terbaik”. Termasuk yang terjadi belakangan ini di Indonesia.

Masalah kemudian muncul. Banyak penonton yang punya ekspektasi berlebihan pada film yang mereka incar. Dan jika ekspektasi ini tidak terwujud, perasaan marah, kecewa, kurang puas pasti bakal dialami penonton tadi. seperti pengalaman saya menonton Ayat Ayat Cinta 2 tadi. keluar dari bioskop, rasa kurang puas menyelimuti perasaan saya karena ending yang terasa ‘ganjil’. Perasaan yang mungkin juga dirasakan ratusan penonton yang hadir di bioskop Banjarsari malam itu.

Seorang teman yang daritadi melihat saya diam kemudian bertanya; “Gimana, film tadi bagus enggak?. “Yaa, lumayan”, jawab saya cengar-cengir sambil nyomot gorengan.


Sekian

  
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar