Sumpah mati saya tidak bermaksud merendahkan film Indonesia
disini. Tulisan ini adalah murni uneg uneg saya sebagai pencinta film amatir
yang coba mengkritisi apa yang terjadi di depan hidung saja.
Cerita ini bermula ketika saya menerima ajakan teman
buat menonton film Ayat Ayat Cinta 2. Kami semua penasaran dengan kelanjutan
kisah Fahri di Ayat Ayat Cinta pertama (2008). Apakah dia masih dengan Sabina? Apa mereka sudah punya anak? Dan
terakhir yang bikin penasaran adalah melihat mantan calon pacar saya, Chelsea
Islan Tatjana Saphira yang bakal beradu acting di film ini. Wuuihh…
Nah, berbekal ke-kepoan luar biasa itu kami pun
berbondong bondong pergi ke bioskop Banjarsari, kota Pekalongan.
Spoiler alert!
Film Ayat Ayat Cinta 2 masih seputar kehidupan Fahri.
Namun, kali ini proses syuting dilakukan di Edinburgh, Skotlandia. Diceritakan,
Fahri adalah professor muda yang tinggal di lingkungan plural, dimana ada tiga
agama dengan islam sebagai agama minoritas. Pesan kesan Islamophobia sangat
terasa di film ini sebagai Fahri sebagai objek pesakitannya.
Seperti pada film sebelumnya, Fahri digambarkan
sebagai sosok yang matang dan bijaksana. Dia menolak marah saat satu persatu
tetangga memusuhinya. Fahri juga selalu menjadi penengah dari masalah dalam
kehidupannya. Alhasil, satu demi satu konflik berhasil diatasi dengan
kesabaran, harta, dan ilmu yang dia miliki.
Maka jadilah seorang Fahri. Sosok manusia sempurna
yang tampan, bijaksana, kaya raya, sholeh, pintar, dan…. digilai banyak wanita
cantik seluruh jagad raya alam semesta.
Eh, tapi… tunggu dulu! Sempurna? Apa enggak salah?
Satu setengah jam nonton film ini sukses bikin saya
ngantuk. Bosan melihat kesempurnaa Fahri yang terlalu sempurna untuk ukuran
manusia normal. Mulai dari memaafkan tetangga yang mencorat coret mobilnya,
menjadikan Sabina (yang bukan muhrimnya) menjadi pembantu dan tinggal bersama
dalam satu rumah, hingga menyewa tutor biola terkenal hingga menjadi pemain
biola terkenal. Semua kesempurnaan ini digambarkan secara berlebihan, simplisitis,
dan… tidak masuk akal.
Seorang penonton disebelah saya bahkan sempat nyeletuk;”Emang
ada ya orang kayak gitu di dunia?”. Saya pun manggut manggut mengiyakan. Yee…
kirain Cuma saya doang yang ngerasain.
Sekali lagi, bukan maksud hati ingin merendahkan tapi
nonton film Ayat Ayat Cinta 2 ini serasa nonton sinetron di tipi tipi ya?
Coba deh kalian resapi, apa yang dialami Fahri ini
sama dengan yang dialami karakter karakter utama sinetron sinetron geje di tipi. Sama sama di bully,
dimusuhi, dilecehkan, dan perlakuan tak menyenangkan lain. Tapi toh, Fahri
tetap ikhlas, sabar, dan menyerahkan segalanya pada Yang Diatas. Ujung ujungnya
bisa ditebak! Sang tokoh utama bahagia dan tokoh antagonis yang nge-bully tadi
sadar dan bertobat.
Hehehehe… mirip dengan cerita Fahri di Ayat Ayat Cinta
2 ini, kan? Ngaku aja deh kalo memang mirip…
Karakteristik sinetron memang mudah sekali dipelajari.
Kita bisa dengan mudah menebak mana yang karakter utama mana yang antagonis. Tokoh
utama sinetron biasanya punya ciri good looking, baik, penyabar, enggak harus
kaya sih tapi dia punya sifat ‘sempurna’ di banding tokoh lain. Selain itu,
alur cerita sinetron juga gampang sekali ditebak dan cenderung enggak masuk
akal alias lebay.
Kecenderungan yang paling parah adalah mulai maraknya
film layar lebar Indonesia yang mengadopsi gaya penceritaan sinetron ini!
Ayat Ayat Cinta 2 hanyalah satu dari sekian banyak
film layar lebar rasa sinetron. Saya akan ambil satu contoh film Indonesia lainnya,
berjudul “ILY from 38.000 ft (2016)”.
Film yang ber-setting di Bali ini dibintangi aktor dan aktris kece Michelle
Ziudith dan Rizky Nazar.
Coba deh kalian resapi, dari awal filmnya saja sudah
terasa banget gaya penceritaan khas sinetron. Ceritanya, Aletta (Michelle
Ziudith) sedang otewe sendirian naik pesawat menuju Bali. Ditengah perjalanan
dia diganggu seorang cowok SKSD yang coba merayu dia. Trus, datanglah si Arga
(Rizky Nazar) mengambil alih kursi si pengganggu tadi. tiba di bandara, Aletta
tal sengaja bertemu lagi dalam proyeknya si Arga bernama Geography Channel. Untuk
selanjutnya? Bisa ditebak. Mereka berdua saling jatuh cinta walaupun di bumbui
konflik disana sini.
Woouuuwww… sinetron banget!
Masih kurang? Ada lagi film yang punya rasa sinetron,
berjudul “From London to Bali” (2017).
Ceritanya tentang Lukman (Ricky Harun) yang depresi berat ditinggal Dewi
(Jessica Mila) pacarnya ke London. Lukman yang masih belum rela ditinggal
melakukan berbagai cara untuk menyusul sang doi ke London. Adegan pun bergerak
cepat. Lukman pun pergi ke Bali, mengumpulkan uang, dan bertemu dengan Dewi di
London.
Ide ceritanya menarik sih, tapi film ini punya begitu
banyak ciri sinetron sejati. Dialog yang terlalu ringan, ditambah joke joke
yang hambar, jadi serasa nonton FTV di tipi!
Selain film film yang sudah saya sebutin tadi, masih
banyak film layar lebar rasa sinetron yang bergentayangan di bioskop bioskop
tanah air. Mungkin dari kalian ada yang ingin menambahkan?
Menurutmu, seperti apa film yang baik itu? Apakah film
yang mendapat banyak penghargaan? Apakah film yang jumlah penontonnya
terbanyak? Atau film yang mendapat kritikan minim?
Pagelaran Academy Award atau Oscar adalah bukt sahih
pemilihan film terbaik bukan berdasarkan jumlah penonton, melainkan
kualitasnya. Untuk Oscar tahun ini, juara umum berhasil diraih film romansa
mistik “The Shape of Water”. Film yang disutradarai Guilermo del Torro ini
berhasil masuk dalam 13 nominasi, salah satunya adalah film terbaik, naskah
asli terbaik, dan sinematrografi terbaik. Wow!
Uniknya, dari penayangan perdana desember 2016 lalu,
The Shape of Water hanya membukukan pendapatan sebesar US$ 30 juta saja. Bandingkan
dengan film Marvel “The Avengers (2016)” yang mendapatkan US$ 1,519 milliar!
Lihat, kan? Data berbicara bahwa film terbaik belum
tentu mendapatkan pendapatan yang terbaik pula. Mungkin karena alasan inilah
para sineas dunia lebih memilih membuat karya “terlaris”, bukan “terbaik”. Termasuk
yang terjadi belakangan ini di Indonesia.
Masalah kemudian muncul. Banyak penonton yang punya
ekspektasi berlebihan pada film yang mereka incar. Dan jika ekspektasi ini
tidak terwujud, perasaan marah, kecewa, kurang puas pasti bakal dialami
penonton tadi. seperti pengalaman saya menonton Ayat Ayat Cinta 2 tadi. keluar
dari bioskop, rasa kurang puas menyelimuti perasaan saya karena ending yang
terasa ‘ganjil’. Perasaan yang mungkin juga dirasakan ratusan penonton yang
hadir di bioskop Banjarsari malam itu.
Seorang teman yang daritadi melihat saya diam kemudian
bertanya; “Gimana, film tadi bagus enggak?. “Yaa, lumayan”, jawab saya
cengar-cengir sambil nyomot gorengan.
Sekian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar