Rumah...
Ada sebagian orang yang berpendapat rumah adalah simbol prestise, yang
hanya untuk ditinggali, dirawat, kemudian ditinggalkan hingga akhirnya
dilupakan. Bagi mereka, rumah harus dibangun bertingkat-tingkat, dengan tembok
tinggi disekelilingnya, plus satpam dan dua anjing galak yang menjaganya.
Tapi bagiku, rumah bukan hanya sekedar itu...
Rumahku, istanaku tidak hanya sekedar tumpukan bata dan segala perabotan
mewah yang menghias didalamnya. Rumah, akan menjadi sebuah “istana” apabila
diisi dengan satu hal penting, yaitu kehangatan keluarga. Tanpa satu syarat
ini, rumah yang berdiri megah pun akan terasa seperti gubug reyot nan sepi jika
tidak ada sentuhan hangat keluarga. Sebuah paradoks yang juga menjelaskan
kepada kita bahwa betapa kebahagian itu tak bisa dibeli dengan uang satu karung
sekalipun.
Lalu, apa yang membedakan dua rumah itu?
Rumah mewah itu selalu kelihatan sepi. Si suami yang pengusaha tusuk gigi
selalu pulang larut malam, sedang sang istri sibuk merintis karir di dunia
tarik suara dan tarik tambang. Kemana sang anak? Karena jarang mendapat
perhatian, dia memilih untuk menyewa apartemen yang dekat dengan kampusnya. Baginya,
tinggal di rumahnya sendiri seperti tinggal di neraka, karena hapir setiap hari
dia mendengar kedua orangtuanya bertengkar.
Rumah kedua itu tampak asri walaupun sederhana. Ternyata istri buruh pabrik
itu hobi berkebun. Rumah itu selalu diselingi tawa canda riang anak sang buruh.
Dan yang membuat buruh itu betah di rumah adalah masakan enak sang istri, dan
kebersamaan yang hangat ketika mereka sekeluarga duduk bersama di meja makan. Sambil
bergurau satu sama lain.
Nah, rumah mana menurutmu yang layak menjadi sebuah istana? Aku yakin rumahku,
istanaku hanya semu belaka...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar