“Goooooooollll!!!”
Tendangan keras dari luar kotak penalti menghujam
deras ke gawang Angiérs FC. Sontak, puluhan ribu penonton yang memadati Tigre
Arena, markas Tigris FC berteriak kegirangan. Panji-panji klub diangkat
tinggi-tinggi. Yel-yel dikumandangkan hingga membuat berisik seisi stadion.
Hari ini adalah pekan terakhir bergulirnya Luna League
yang mempertemukan Tigris FC dan Angiérs FC. Pertandingan dua rival ini selalu
menarik untuk ditonton, tidak hanya warga lokal tetapi juga seluruh dunia.
Kedua klub selalu saling sikut berebut peringkat atas klasemen. Menguasai
hampir separuh abad berjalannya liga.
Tapi sepertinya musim ini bukan milik Angiérs FC.
Pekan lalu saja mereka ditahan imbang tanpa gol oleh tim promosi FC Zapata.
Pekan berikutnya dikalahkan Olympique Blitz 0-2. Sebuah pencapaian yang tidak
lazim bagi klub sebesar Angiérs FC.
Kondisi ini jelas membuat presiden klub, Marc Anthony,
marah besar. Esoknya, dia mengadakan rapat mendadak. Dihadiri oleh jajaran
direksi, staf kepelatihan, dan beberapa official tim.
“Kita harus segera bertindak! Tak mungkin kita melihat
tim ini terus berada di papan tengah. Tidak untuk musim depan!” Tegas Marc
Anthony mengawali rapat pagi itu.
“Benar. Jika keadaan ini terus berlanjut, kita
terancam akan kehilangan banyak sponsor potensial”, dewan direksi lain turut
menimpali.
“Lalu, apa kali ini alasanmu, Sam? Bukankah semua
pemain yang kau minta sudah aku beli? Harga mereka lebih mahal dari gaji semua
orang yang ada disini” Ujar Marc Anthony. Semua mata lantas tertuju pada Samuel
Jefferson, pelatih Angiérs saat ini.