“Pergi kamu sana!!”, hardikku kasar kepada rindu.
Namun, kamu hanya menatapku sambil tersenyum kecil.
Aku marah, hampir setiap hari kau selalu mengikutiku. Membuntuti kemanapun aku
pergi. Di rumah, di taman, di gereja, dan sekarang di kampus? Kurang ajar. Ini
bukan tempat yang tepat untukmu datang, bukan?
“Pergi sana!” teriakku lagi.
Tapi kali ini dengan mata melotot dan dahi yang
mengkerut. Melihat ekspresi galakku, sepertinya kamu mengerti dan memutuskan
untuk mundur perlahan. Aku tersenyum puas. Huh, akhirnya sadar juga, pikirku.
Aku setengah berlari menuju kelasku. Hari ini ada
kuiiah Semantics. Mata kuliah dimana
dosennya sangat membenci mahasiswa yang datang terlambat. Bahkan, seorang anak
rektorpun sepertinya dilarang masuk ke kelas jika terlambat. Aku terus berlari
menyusuri lorong lorong kampus. Cuek dengan suara suara yang memanggil namaku.
Dan kali ini aku beruntung karena pintu kelas yang masih terbuka lebar.
Di kantin, aku menceritakan semuanya kepada Ossy,
sahabatku. Tentang rindu yang selalu mengikutiku. Tentang sikap kasarku setiap
kali dia datang. Tentang semuanya.
“Jadi sejak kapan dia membuntutimu, Ra?”, ujar Ossy
memotong ocehanku. Sementara mangkok sotonya sudah bersih licin. Tinggal es
jeruknya yang pasrah dia aduk aduk.
“Sejak seminggu yang lalu, setelah aku mendapat telfon
darinya”, jawabku lirih. Aku sendiri tak berselera untuk makan di siang yang
panas itu. Hanya memesan susu cokelat dingin yang daritadi enggan aku minum.
“Kau tahu, Ra. Sikapmu padanya itu yang selama ini salah”,
mendadak Ossy menatapku dengan nada serius.
“Apanya yang salah? Bukankah dia yang selama ini
membuntutiku? Bukankah dia yang selama ini membuatku tak nyaman? Kenapa kamu
malah membelanya?”, Intonasi suaraku meninggi. Beberapa pasang mata tertuju kearah
kami. Keheranan.
Melihatku semakin ngotot, Ossy buru buru menenangkan. ”Tenang,
Ra. Aku tak membela siapa siapa disini”.
“Aku hanya ingin mengingatkan, semakin kamu
menjauhinya semakin sakit perasaan yang bakal kamu tanggung”, lanjut Ossy.
Aku membuang muka sambil mendengus kesal. Lihatlah,
bahkan sahabatku sendiri lebih suka membela si penguntit itu. Percuma bicara
dengan orang tak mengerti perasaanku saat ini.
Saat membuang muka itulah tanpa sengaja tatapanku
menangkap kembali bayanganmu. Bayangan yang menjadi sumber perdebatan kami
berdua. Ya, Kamu duduk disana. Tersenyum kepadaku sambil menyeruput susu
cokelat panas yang sedari tadi dipesan. Tersenyum penuh kemenangan.
“Jadi kamu mau semakin tersakiti?”, ujar Ossy lagi.
Amarahku meledak. Aku tak tahan lagi. Kudorong kursi
tempat aku duduk. Bergegas pergi meninggalkan kantin yang panas dan berisik
itu. Tanpa menghiraukan Ossy yang terus menerus memanggil namaku. Namun, hanya
hitungan hari untukku mengakui bahwa ucapan Ossy itu benar adanya.
***
Tak seperti biasanya, hari hari berjalan sangat lambat. Itu karena kamu
masih mengikutiku. Mengintip malu malu di balik jendela kampus saat aku kuliah,
menjadi tamu tak diundang dalam seminar yang aku pandu, membaca majalah sambil
mencuri pandang kearahku saat di salon bersama mama. Tak adakah niatan dihatimu
untuk mengikuti dia daripada aku?
Hingga suatu sore kemarahanku memuncak. Kodorong kamu hingga jatuh
terduduk. Maafkan aku Rindu, tapi aku tak tahan lagi. Sementara kau tak
menangis dan tak bersuara. Hanya tubuhmu yang berdiri, berbalik, dan pergi
menjauhiku. Jauh sekali. Aku tak sempat melihat bayanganmu di belokan itu.
Satu hari. Dua hari. Enam hari. Kau tak juga datang. Saat ini aku merasakan
ada yang tak beres dari dalam diriku. Aku merindukanmu.
***
Gerimis kecil kecil membahasi jendela kamarku malam itu. Aku masih melamun.
Memikirkan sikap kasarku kepadamu selama ini. aku berhasl menarik kesimpulan
bahwa tak ada yang salah disini. Hanya perihal waktu yang putarannya tak
sengaja mempertemukan kita berdua. Dan ketukan pintu malam itu sepertinya akan
merubah segalanya.
“Ra, ada tamu”, ujar ibu dari luar.
Aku kaget. Siapa yang bertamu malam malam begini.
“Siapa, Ma?”
“Ibu tak tahu. Tapi sepertinya dia datang dari jauh. Badannya basah kuyup.
Cepat sana, dia sudah menunggu”
“Iya, Ma”, jawabku malas sambil membuka pintu kamar.
“Dan bilang ke teman kamu, lain kali jangan bertemu malam malam. Tidak enak
dilihat tetangga”.
“Iya, Ma”, jawabku lagi.
Aku membuka pintu. Tertegun melihatmu basah kuyup karena hujan. Bibirmu
membiru menahan gigil. Matamu sayu. Tempias wajahmu menandakan kau lelah
sehabis melakukan perjalanan jauh.
Sejenak kita terdiam. Berdua menikmati gemericik air hujan yang terasa
merdu sekali ditelinga. Menikmati hembusan angin dingin yang kutahu itu sangat
menyakitkan bagimu. Dan bersamamu, lagi lagi, waktu terasa berjalan lambat.
Dan tiba tiba kau mengulurkan tanganmu. Memberikan secarik kertas yang
daritadi kau genggam. Kertas itu kering. Sepertinya kamu sengaja menjaga kertas
itu tetap kering agar bisa terbaca olehku.
“Aku kemari hanya memberikan ini”, ujarmu lirih.
Sekarang giliran aku yang diam. Seperti membaca gelagat yang tidak baik.
Mereka-reka beberapa kemungkinan yang akan terjadi. Belum sempat aku
mengucapkan sepatah katapun, kamu sudah menghilang. Masih terlihat sekelebatan
bayangmu yang kemudian hilang di tikungan gang.
Secarik kertas itu masih aku genggam. Kemudian aku mulai membacanya dalam
diam.
“Rara,
Aku pamit.
Pergi meninggalkan cintamu yang kian menjepitku.
Tapi jangan sedih, Ra. Aku akan tetap ada disekitarmu. Dibalik halaman buku
diarymu, di tumpukan baju yang belum sempat kau cuci, bahkan, kau akan
menemukanku dalam hal yang tak terjamah oleh mata.
Jadi, aku mohon, Ra. Berhentilah mengikutiku. Berhentilah mencariku. Karena
aku adalah kamu. Dan aku tak ingin kau menderita karenaku.
Rindu
Aku terhenyak. Carikan kertas itu terjatuh di lantai. Seperti teringat
sesuatu, aku berlari mengejarmu. Menerjang hujan yang kian lebat membahasi
jalanan. Tanpa peduli beralas kaki. Tanpa peduli pintu rumah yang masih
terbuka. Tanpa peduli gelegar petir yang memekakan telinga.
Aku tak peduli. Malam ini juga aku harus menyelesaikan masalah yang
membelenggu kita berdua. Yang telah membuat kita saling diam. Aku harus
menemuimu!
Sudah hampir setengah jam aku berputar putar mengelilingi jalan perumahan,
sosokmu tak juga aku temukan. Bajuku sudah basah kuyup, telapak kakiku terasa
perih setelah menginjak ribuan kerikil tajam sejak keluar rumah tadi. nafask
tersengal sengal. Bibirku mulai menggigil menahan dingin yang menusuk hingga ke
tulang.
Sesaat aku melihat sosokmu dikejauhan. Aku berlari lagi sambil memangil
namamu. Sedikit terpincang pincang karena telapak kakiku yang luka terkena air
hujan. Kau menoleh. Menatap bingung kearahku.
“Ada apa?”, tanyamu sambil menatap heran.
Aku tak mampu langsung menjawab. Masih mengatur nafasku yang tersengal.
Sebenarnya, banyak pertanyaan yang ingin aku tanyakan kepadamu. Tapi sepertinya
satu pertanyaan ini mewakili semua pertanyaan yang ada di otakku:
“Bolehkah aku mengikutimu?”
Sekian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar