Senin, 03 November 2014

1435 H: Catatan Dari Pulau Seberang

Seandainya urusan tesis ibu belum selesai, mungkin lebaran ke Kalimantan ini hanya tinggal rencana. Ibu menyelesaikan ujian draft untuk S2 beliau tepat 3 hari sebelum hari keberangkatan. Huft… Tepat waktu karena kami sudah memesan tiket kapal jauh jauh hari sebelumnya. Perjalanan kami kali ini juga atas niat kuat dari ibu karena 8 tahun lebih sudah tak pernah lagi menjejakan kaki di tanah kelahiran kalimantan dan bersua dengan sanak famili disana. 

Maka, pada hari itu, tanggal 24 juli, kami diantar menuju pelabuhan Tanjung Mas, Semarang, tempat kapal bersandar. Tapi kapal baru tiba di pelabuhan pukul 00:30 dinihari. Saat itu, arus mudik begitu terasa ketika kapal KM Leuser, kapal yang akan kami naiki, menurunkan sekitar 5000 penumpang dari Kalimantan. Para penumpang rata rata adalah orang kalimantan yang akan berlebaran ke Jawa. Untungnya ketika kami naiki, penumpang yang ada hanya sekitar 500an orang karena mereka yang berencana berlebaran di kalimantan relatif sedikit. Jadi ketika banyak orang memilih berlibur ke jawa kami malah lebih memilih berlibur ke luar pulau Jawa. Hihihi..



Satu setengah jam kemudian, kapal bertolak dari pelabuhan Tanjung Mas. meninggalkan segala hiruk pikuk dan keruwetan pulau Jawa, berjalan tenang menuju lautan lepas menuju pulau sebrang.

Momen dikapal adalah salah satu momen yang paling aku tunggu. Dimana aku bisa melihat lautan lepas hingga ke ujung cakrawala, menikmati derasnya debur ombak, dan teromabang ambing olehnya. Sungguh suatu pengalaman hidup yang susah dilupakan. Kadang kapal kami berpapasan dengan perahu nelayan, terombang ambing oleh ombak yang dibuat kapal kami. 

Hello Borneo!
Dengan kecepatan kapal sekitar knot, kami menghabiskan waktu satu hari dua malam untuk bisa mencapai pesisir selatan pulau kalimantan. Dan perjalanan belum berhenti sampai disitu. Setelah melewati teluk sampit, kapal harus menyusuri sungai Mentaya. Lagi lagi kami disuguhi pemandangan yang menakjubkan. Pemandangan hutan hujan kalimantan diselimuti oleh kabut, dengan siluet matahari pagi dibelakangnya. Suatu pemandangan yang jarang kami lihat setiap hari. Momen ini tidak aku sia siakan untuk jeprat jepret. Ini nih beberapa hasil bidikan kameraku. Masih kurang bagus sih, maklum fotografer amatiran.







Setelah menyusuri sungai Mentaya selama sekitar 2 jam, kapal merapat di pelabuhan Sampit. Aku bersiap siap turun sambil menggendong tas ransel milikku. Sengaja memakai tas sendiri agar tak bercampur dengan bawaan milik ibu dan yang lain. Turun dari kapal, kami dijemput saudara dengan mobil dan melanjutkan perjalanan darat menuju tempat tujuan kami, Samuda.

Sampit-Samuda dapat ditempuh selama satu jam perjalanan. Berjarak sekitar 25 kilometer dari Sampit, kota terbesar di Kalimantan Tengah. Jujur datang kemari selalu membuatku kangen akan segala hal. Kangen memancing ikan di sungai Mentaya, kangen masakan nini (panggilan untuk nenek), kangen bunyi sepit lalu lalang di sungai, dan kangen dengan sepupu sepupuku. Ya, selain di Pelaihari, Kalimantan Selatan, sebagian masa kecilku aku habiskan disini bersama mereka. Bagaimana keadaan mereka sekarang? Entahlah, terlalu lama aku meninggalkan tempat ini. Nini menyambut hangat ketika kami turun dari mobil. Setelah bersalaman dan tanya kabar selesai, aku langsung mengambil motor untuk berkeliling.

Jangan samakan Samuda dengan kota kota di Jawa yang bising dan padat, kota ini hanya kota pelabuhan yang terletak di tepi sungai Mentaya. Mentaya sendiri adalah sungai yang menghubungkan Samuda dengan kota Sampit dan beberapa kota lain di utara. Luasnya kira kira dua kali luas lapangan sepak bola. Kebayang kan bagaimana luasnya sungai ini?. Saking luasnya , ditengah sungai terdapat pulau pulau kecil dan kapal kapal besar bisa melewatinya.
Walet

Motorku melaju pelan menyusuri jalan Samuda yang mulus. Pft… Benar dugaanku. Ternyata tempat ini sudah jauh berubah. Gedung gedung tinggi menjulang diantara rumah penduduk dan suara burung walet terdengar nyaring. Burung walet? Ya, semua bangunan 3-4 lantai itu bukan untuk tempat tinggal manusia tapi untuk sarang burung walet. Selain berdagang penduduk Samuda kebanyakan beternak walet sebagai sumber penghasilan mereka. Suara burung yang aku dengarkan juga bukan suara kicauan burung, tapi rekaman dari tape recorder yang sengaja dipasang untuk menarik burung walet agar bersarang disitu. Aku sampai tak mengenali tempat ini lagi karena sebagian besar rumah panggung diganti dengan gedung gedung tinggi. Rumah kenanganku dulu juga ikut tergusur. 

Motorku masih menderu menuju pasar. Dan bagaimana pasar Samuda sekarang? Duh, aku sampai tak mengenalinya lagi. Disinilah aku dan sepupuku banyak menghabiskan waktu bermain. Pasar terletak di tepi sungai sehingga dari sana kita bisa melihat sepit dan kapal kayu lain berlayar, sambil sesekali menaik turunkan barang dan penumpang. Kalian tahu sepit kan? Sepit (dari kata Speed) adalah perahu kayu, panjang lima meter lebar satu meter bermesin tempel. Pemandangan disana sangat indah, apalagi ketika matahari mulai turun dari singgasananya. Aku benar benar kangen dengan semua ini!






Puas berkeliling, aku memacu motorku kembali ke rumah. Rasa lapar diperut mengganggu saja dari tadi. Nini langsung menyuruhku ke belakang untuk makan siang. Beralaskan lampit (tikar dari anyaman bambu) kami makan siang bersama. Ini nih salah satu hal yang bikin aku semangat untuk pergi kemari, yaitu masakan nini. Masakan mama sebenarnya juga ga kalah enak dari masakan nini, tapi siapa yang mengajari mama masak kalo bukan nini?. Jadi bisa dibilang masakan Nini lebih enak selevel daripada masakan mama. Hihihi…

Esoknya, hari terakhir dibulan puasa, aku dapat kabar kalau sepupu sepupuku akan datang kemari. Tak sabar rasanya bertemu dengan mereka. Dan beberapa jam kemudian ketika mereka datang, aku terkejut ketika dia tak datang aendirian. Tapi dengan istri dan dua anaknya yang masih kecil. Padahal aku tahu kalau usia mereka jauh dibawahku, 21 tahun. Usut punya usut, ternyata pernikahan muda ditempat itu sudah umum. Rata-rata mereka yang baru lulus sma tak langsung mencari kerja dulu, tapi langsung mencari jodoh. Hehe. Jadilah perbincangan kami terasa canggung dan kaku.


Idul fitri


 

Allahuakbar Allahuakbar Allahuakbar… Lailahaillallah Allahuakbar...

Seruan pujian untuk Allah berkumandang di pagi itu. Serombongan orang dengan berpakaian putih putih berjalan menuju masjid, melaksanakan sholat ied. Kamipun tak ketinggalan untuk ikut serta. Usai sholai Ied, kamipun bermaaf maafan. Maafin kesalahaanku selama ini ya mah.. pah…
Pagi berikutnya, kami berencana untuk pergi ke Kuala Pembuang mengunjungi sanak saudara sambil mampir berekreasi ke Pantai Ujung Pandaran dan hutan Bakau. Pantai ujung Pandaran berbentuk memanjang. Panjangnya mungkin 2 kilometer menjorok ke laut. Jadi, di tepi pantai, sepanjang mata memandang terlihat pantai pasir putih terbentang indah didepan mata. Benar benar liburan yang sempurna!

Perjalanan pulang, mobil kami melewati perkampungan nelayan dekat pantai. Melewati padang rumput yang (katanya) perkampungan “makhluk halus” bernama kalap, dan terakhir melewati perkebunan sawit luas yang ternyata milik perusahaan Malaysia. Ironis, tanah indonesia justru dimanfaatkan negara lain.





Sejak kerusuhan Sampit tahun 2001 lalu, banyak lahan yang ditinggal pemiliknya. Menjadikan harga tanah disini merosot drastis. Lahan kosong di kalimantan luas dan dimanfaatkan sebagai perkebunan oleh masyarakat Samuda.
  
Pulang
Hari hari berlalu, kami menghabiskan waktu untuk silahturahmi ke beberapa saudara di Semuda dan Sampit, hingga tak terasa hari kepulangan kami tiba. Pagi itu tanggal 4 agustus, kami berangkat menuju pelabuhan sampit karena kapal akan berangkat jam 8 pagi. Sebelum pulang kami sempatkan dulu membeli oleh oleh untuk kerabat di jawa. Dan setelah beres, KM sirimau sudah menunggu kami untuk berlayar. Sedih rasanya meninggalkan tempat ini. Perubahan apa lagi yang akan kami rasakan nanti jika kembali kesini? Cerita baru apalagi yang akan kami dengar ketika kami datang kemari? Tak sabar rasanya menunggu lebaran tahun depan, atau malah tahun depannya lagi untuk bisa lebaran disini lagi.
Sampai jumpa lagi semuda.. Semua kenangan disini takkan pernah aku lupakan.
Kapal kamipun kemudian berlayar kembali, membelah laut jawa yang luas.









Cast; Mama Lina, Papa, Faisal Aditya Erlangga, Elika Tantri, Khanaya Kalya Maharani, Om Acum, Nini, Acil Iyah, Icha, A’an, Amang Budy, Ka Eli Family, Ayong Family, Kai Amut, Nini Acin, Om Ari, Acil Irah Family, Om Sito Family, Ka Icha, Ka Tipah, Acil Kama, Om husein.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar